Friday, January 30, 2009

Berburu Durian ke Argopuro

Sabtu, 31 Januari 2009 | 10:31 WIB

Puncak Argopuro merupakan salah satu puncak Pegunungan Lasem, Kabupaten Rembang. Kawasan karst yang berada di perbatasan Kecamatan Lasem dan Pancur tersebut menyembunyikan pemandangan alam yang memesona sekaligus santapan yang memanjakan lidah.

Kawasan tersebut berada di ketinggian 1.500 meter dari permukaan laut, sekitar 20 kilometer dari Jalan Raya Pantura Lasem. Meski harus melewati jalan yang menanjak untuk ke sana, peminat wisata petualangan tidak akan kecewa. Dari lokasi tersebut, kita dapat memandang kota Rembang dan Laut Jawa. Panorama lain yang memanjakan mata adalah gundukan bukit-bukit yang memadu menjadi Pegunungan Lasem.

Bagi penggemar durian, kawasan tersebut merupakan tempat perburuan durian. Kawasan tersebut terkenal sebagai penghasil durian criwik. Disebut durian criwik lantaran ratusan pohon durian tersebar di lahan-lahan penduduk Desa Criwik, Kecamatan Pancur. Jenis durian ada tiga macam, yaitu durian wakul, buto, dan montong.

"Durian wakul dan buto merupakan durian asli Criwik," kata Mbah Wadini (71) di Rembang, Sabtu (17/1).

Perempuan yang mempunyai lahan seluas 2 hektar ini hanya memiliki delapan pohon durian. Namun, dari delapan pohon tersebut dia bisa memperoleh Rp 10 juta-Rp 15 juta setiap musim durian pada Januari-April.

Menurut Irwanto (28), anak Mbah Wadini, harga durian di tingkat penebas atau pembeli borongan Rp 10.000-Rp 15.000 per buah. Harga eceran Rp 20.000-Rp 50.000 per buah, tergantung besar-kecil durian.

"Kami hanya menjual durian-durian yang jatuh dari pohon. Durian itu dijamin sudah matang dan tidak karbitan," kata dia.
Biasanya, pemilik durian menawari pembeli perorangan, mau durian di kebun atau yang sudah tersedia di gubuk. Jika pembeli menghendaki durian kebun, pemilik akan mengajaknya berburu durian jatuh.

Setelah menemukan, durian itu dibuka dan dinikmati di bawah pohon durian. Rasa durian yang manis kadang bercampur sepat dan pedas itu menjadi obat lelah setelah melewati jalan yang menanjak dan kebun yang luas.

Selain menikmati durian, kita juga dapat memotret kegiatan para pedagang durian. Para penebas dan penjual durian mengangkut durian- durian dengan rombong yang diletakkan di bagian belakang sepeda motor. Tak jarang mereka yang punya modal besar mengangkut durian menggunakan mobil bak terbuka.

Pedagang durian criwik, Samiyono (32), mengatakan menjual durian criwik ke Blora, Grobogan, Pati, serta Tuban dan Bojonegoro di Jawa Timur. (HENDRIYO WIDI)

http://cetak/kompas.com

LIPI Siap Luncurkan Padi Transgenik

Sabtu, 31 Januari 2009 | 04:20 WIB

YOGYAKARTA, KOMPAS - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia siap meluncurkan padi transgenik tahan hama mulai tahun depan. Varietas padi yang belum bernama ini telah lolos uji lapangan dan analisis mengenai dampak lingkungan.

Ketua LIPI Umar Anggara Jenie mengatakan, padi tahan hama penggerek batang dan wereng ini sebenarnya telah siap diaplikasikan. Namun, padi ini masih harus melalui tahap uji keamanan pangan (biosafety) sebelum didistribusikan kepada petani. Tahap terakhir ini diperkirakan memakan waktu setahun.

”Setelah itu baru varietas padi baru ini akan memperoleh sertifikat dan bisa dilepas,” katanya seusai Seminar Nasional Perkembangan Bioteknologi Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (30/1).

Menurut dia, padi hasil rekayasa genetika ini telah melalui uji lapangan selama empat tahun. Varietas ini juga telah dinyatakan aman terhadap lingkungan melalui uji amdal. Mengingat tanaman transgenik masih jadi kontroversi, LIPI akan mengadakan sosialisasi ke masyarakat.
Umar menerangkan, varietas padi ini dikembangkan dengan menggunakan padi varietas asli Indonesia, antara lain Rojolele dan Cisadane. Dengan memanfaatkan bakteri tanah jenis Bacillus thuringiensis, penelitian bertujuan merekayasa sifat gen padi sehingga tahan hama.

Pengembangan padi tahan hama dipilih karena hama merupakan ancaman besar bagi keberhasilan pertanian padi di Indonesia. ”Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat memungkinkan hama berkembang biak cepat dan banyak,” ujar Umar.

Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI juga berupaya mengembangkan padi tahan kekeringan, banjir, dan gulma. ”Pertanian padi di Indonesia menghadapi empat ancaman terbesar, yaitu kekeringan, banjir, hama, dan gulma. Karena itu, padi yang bisa mengatasi empat ancaman itu menjadi prioritas penelitian di LIPI,” kata Umar.

Ketergantungan

Pemerhati pertanian dari UGM, Mochammad Maksum, mengatakan, guna menjaga ketahanan pangan di Indonesia, peluncuran padi transgenik jangan sampai menjadi ketergantungan baru pada petani. Pasalnya, ketergantungan petani akan mengancam ketahanan pangan.
”Varietas ini harus bisa ditangkarkan sendiri oleh petani, seperti varietas lokal,” katanya. Menurut Maksum, selama ini petani Indonesia sudah terlalu bergantung pada industri pertanian sehingga kehilangan kemandirian. Selain bergantung pada pupuk kimia, petani juga bergantung pada bibit unggul yang tak bisa mereka bibitkan sendiri sehingga harus membeli dengan harga relatif mahal. ”Padahal, dulu petani Indonesia bisa bertahan karena mampu memelihara dan mengembangkan sendiri padi lokal,” katanya. (IRE)

Seberapa Banyak Air Diperlukan Untuk Memproduksi Beras?

Oleh: Dr. Pudjiatmoko

Banyak orang bertanya, ”Seberapa banyak air yang diperlukan untuk memproduksi 1 kg beras?” tetapi masih sedikit jawaban yang memuaskan. Jawaban pertanyaan ini terletak pada definisi ”penggunaan air untuk bercocok tanam padi”. Kita dapat mengidentifikasikan tiga macam penggunaan ”air”, yaitu melalui 1) Transpirasi, 2) Evaporasi dan 3) Gabungan perembesan dan penapisan air.

Bercocok tanam padi menggunakan air melalui proses transparirasi untuk mendinginkan tanaman dan membawa unsur hara yang dibutuhkan tanaman dari tanah naik ke atas sampai ke daun. Proses ini merupakan penggunaan air secara nyata, tumbuhan mengambil air dan melepaskannya ke atmosfir melalui transpirasi. Air yang dipergunakan dalam proses ini tidak dapat dipergunakan kembali oleh tumbuhan yang sama dalam siklus pertumbuhan yang sama. Air yang ditranspirasi tersebut masuk ke siklus air alam dan pada waktunya kembali ke bumi lagi melalui hujan atau salju.

Untuk bercocok tanam padi terdapat tanaman padi dan tanah sebagai media bercocok tanam. Disamping transparasi dari tumbuhan, air yang diatas tanah meninggalkan tempat bercocok tanam melalui evaporasi. Seperti transpirasi, evaporasi air menghilang dan tidak dapat digunakan lagi oleh tanaman yang sama dalam masa siklus pertumbuhannya. Kombinasi dua jenis penggunaan air oleh tanaman padi ini disebut ”evapotranspirasi”.

Air di sawah sering digenangkan dalam jumlah cukup banyak sehingga dapat mencukupi kebutuhan tanaman padi. Selain evapotranspirasi seperti tersebut diatas, air dapat mengalir ke luar sawah melalui perembesan dan penapisan: menuju kesamping dan ke bawah mengalir melalui tanah dan mengalir ke luar sawah. Bagi seorang petani, hal ini merupakan kehilangan air yang nyata. Ketika air dipergunakan untuk tanaman padi di sawah petani dapat mempertimbangkan jumlah air yang terpakai untuk evapotranspirasi, perembesan dan penapisan. Petani memerlukan air irigasi yang cukup, untuk menggantikan air hujan jika curah hujan tidak cukup. Pada hamparan sawah yang lebih luas, perembesan dan penapisan air dari suatu sawah masuk ke air tanah atau selokan air maupun anak sungai. Dengan air tersebut petani lain bisa menggunakannya lagi untuk mengaliri sawah yang lain. Sedangkan air untuk evapotranspirasi tidak dapat dipergunakan kembali.

Penggunaan air tanaman padi melalui transpirasi

Menurut Haefele dkk (2008) dalam kajian percobaan di dalam pot dan greenhouse yang dilaksanakan di International Rice Research Institute (IRRI) memperlihatkan bahwa penggunaan air untuk memproduksi 1 kg gabah berkisar antara 500 – 1.000 liter. Kebutuhan air untuk tanaman padi terbanyak dibandingkan dengan cereal lain seperti gandum (Wheat) dan Barley.

Penggunaan air tanaman padi melalui evapotranspirasi

Perkiraan penggunan air melalui evapotranspirasi dalam sawah padi di dunia adalah 859 kubik kiloliter per tahun. Produksi beras gabah sedunia diperkirakan sejumlah 600 juta ton. Untuk memproduksi satu kilogram gabah memerlukan 1,432 liter air avapotranspirasi. Secara kasar rata-rata penggunaan air untuk budidaya padi sedunia dunia sama dengan untuk budidaya Wheat, akan tetapi lebih tinggi dari pada penggunaan untuk budidaya jagung dan Barley. Menurut Falkenmark dan Rockstrom (2004) untuk memperoleh satu kilogram Wheat memerlukan air sebanyak 1.480 liter, jagung (Maize) 1.250 liter, dan Barley 1.000 liter. Sedangkan menurut Chapagain and Hoekstra (2004) untuk memperoleh satu kilogram Wheat memerlukan air sebanyak 1.300 liter dan untuk jagung 900 liter.

Jumlah air yang dibutuhkan dalam evapotranspirasi untuk budidaya padi sangat bervariasi. Menurut Zwart and Bastiaansen (2004) hasil penelitian untuk sawah dataran rendah menyebutkan jumlah air evapotranspirasi untuk menghasilkan satu kilogram beras paling sedikit 625 liter, pertengahannya 909 liter dan paling banyak 1.667 liter.

Penggunaan air per tahun secara global pada evapotranspirasi dilihat dari peruntukannya, menurut Chapagain dan Hoekstra (2004) menyebutkan untuk keperluan makanan sebesar 6.390 kilometer kubik, bidang Industri 716 kilometer kubik dan keperluan domestik 344 kilometer kubik, sedangkan menurut Falkenmark dan Rockstrom (2004) untuk makanan 7.200 kilometer kubik, industri 780 kilometer kubik dan untuk domestik 180 kilometer kubik. Kebutuhan untuk memproduksi beras total sedunia adalah 12 – 13 % dari jumlah air evapotranspirasi yang diperlukan untuk memproduksi semua bahan makanan di dunia. Sebagai catatan bahwa rumput dan bahan pakan ternak termasuk kebutuhan peternakan.

Penggunaan air sawah untuk tanaman padi melalui evapotranspirasi, rembesan dan penapisan air

Rata-rata sekitar 2.500 liter air yang diperlukan (dengan air hujan dan / atau irigasi) tanaman padi untuk memproduksi satu kilogram gabah padi. Angka 2.500 liter ini dihitung dari evapotranspirasi, perembesan dan penapisan. Rata-rata angka ini berasal dari data penelitian terhadap sawah perorangan di Asia. Angka-angka dari hasil penelitian tersebut sangat beragam yaitu antara 800 – 5.000 liter lebih. Keberagaman ini disebabkan tata laksana budidaya yang beragam seperti penggunaan varietas tanaman, penggunaan pupuk dan cara penanggulangan penyakit, juga tergantung pada iklim dan kesuburan tanah yang berbeda. Penggunaan air di sawah yang ditanami padi diperlukan air 2 - 3 kali lebih banyak dibandingkan tanaman cereal utama yang lain.

Meskipun kebutuhan air untuk evapotranspirasi dalam memproduksi padi hampir sama dengan Wheat, padi memerlukan lebih banyak air sawah dari pada tanaman cereal yang lain karena diperlukan pengaliran air yang tinggi baik rembesan maupun penapisan. Akan tetapi air yang mengalir tersebut dapat diambil dan dipergunakan lagi di bagian hilir. Efisiensi penggunaan air untuk tanaman padi dalam sistem irigasi yang dikelola dengan banyak sawah bisa lebih tinggi dari pada penggunaan air untuk sawah perorangan. Sekitar 1/4 – 1/3 sumber air bersih yang dibangun di dunia digunakan untuk irigasi padi.

Sebagai bahan catatan bahwa beras merupakan bahan makan pokok yang dikonsumsi oleh separuh populasi manusia di planet bumi ini.

Sehubungan dengan peningkatan produksi padi perlu kita perhatikan masalah krisis air, imbas perubahan iklim terhadap pola curah hujan serta penggunaan saluran air irigasi di perkotaan dan wilayah industri. Ketika terjadi kelangkaan air untuk pertanian diperlukan peningkatan teknologi penghematan air seperti aerobic rice yaitu varietas padi yang tumbuh baik di sawah yang tidak tergenang air, dan sistem irigasi yang lebih efisien seperti pengairan dan pengeringan sawah secara bergantian.

Sumber : Rice Today, Vol 8, No. 1, 2009.
http://atanitokyo.blogspot.com/

Tuesday, January 27, 2009

Golden Rice: Dulu, Kini, dan Nanti

Oleh Oleh M. Suudi

Dunia sempat dikejutkan dengan padi hasil rekayasa genetik "Golden Rice" (padi emas) pada tahun 2000 [1]. Padi varitas baru yang berhasil didapatkan ini adalah sebuah temuan mutakhir dalam bidang bioteknologi tanaman pangan. Varitas baru tersebut tidak bisa dihasilkan dengan persilangan biasa (breeding), tetapi melalui teknik DNA rekombinan atau rekayasa genetik. Ide rekayasa padi yang mengandung beta-karoten pada awalnya muncul ketika para ahli biotek menemukan sebuah fenomena dimana terdapat banyak anak-anak yang mengalami kekurangan vitamin A terutama di benua Asia dan Afrika.

Kekurangan vitamin A bisa menyebabkan kebutaan dan bisa memperburuk penderita diare, sakit pernafasan dan penyakit cacar air. Selain itu, pemberian vitamin A secara oral menjadi hal yang problematik karena kurangnya infrastruktur yang menunjang. Maka sebuah alternatif sangat dibutuhkan untuk memeratakan konsumsi vitamin A khususnya pada anak-anak. Salah satu terobosan yang bisa dilakukan adalah merekayasa padi agar bisa menghasilkan beta-karoten (provitamin A) pada biji (endosperma)-nya. Padi menjadi pilihan karena merupakan bahan pangan utama bagi hampir seluruh penduduk dunia. Bagaimana rekayasa golden rice dilakukan sehingga bijinya bisa mengandung beta karoten dan berwarna orange kekuningan?

Rekayasa Padi Golden Rice

Rekayasa padi golden rice memang baru terdengar saat keberhasilan tersebut termuat dalam jurnal Science pada tahun 2000. Namun sebenarnya sekitar sepuluh tahun sebelumnya, ilmuwan Jepang telah mengawali mengisolasi gen yang menyandi jalur biosintesa karotenoid dari bakteri fitopatogenik Erwinia uredovora [2]. Dari penelitian tersebut ditemukan bahwa gen CrtI mengkode enzim phytoene desaturase yang bertanggung jawab untuk mengubah phytoene menjadi lycopene.

Beberapa tahun berselang, ilmuwan Eropa melaporkan bahwa di dalam biji padi terdapat bahan dasar (prekusor) untuk biosintesa karotenoid, termasuk beta-karoten, yaitu geranyl geranyl diphosphate (GGDP) [3]. Namun secara alami biji padi tidak menghasilkan phytoene karena terjadi penghambatan fungsi dari enzim phytoene synthase (PHY) dalam mengubah GGDP menjadi phytoene.

Meskipun demikian, penghambatan fungsi enzim tersebut bisa dihilangkan dengan cara mengintroduksi gen phy dari tanaman daffodil (bunga narsis/ bakung) dengan menggunakan promoter spesifik untuk endosperma [3]. Selain phy dan CrtI, masih ada satu enzim lagi yang diperlukan untuk mengubah lycopene menjadi beta-karoten yaitu lycopene cyclase (LYC) yang juga berasal dari tanaman daffodil. Secara ringkas, rekayasa jalur biosintesa beta-karoten pada golden rice bisa dilihat pada skema berikut:

Transformasi dengan menggunakan Agrobacterium menunjukkan bahwa modifikasi jalur biosintesa beta karoten berhasil dilakukan. Hal ini terbukti berdasarkan hasil analisa fotometrik dengan menggunakan HPLC (high-performance liquid chromatography) yang menunjukkan adanya karotenoid, termasuk beta-karoten, pada golden rice yaitu 1.6 mikrog/g [1]. Keberhasilan ini dilanjutkan dengan uji coba pada varietas yang berbeda seperti indica (IR 64) dan japonica (Taipei 309). IR 64 dan Taipei 309 dipilih karena kedua varitas tersebut paling banyak digemari di kawasan Asia, terutama Asia Tenggara dan China. Namun demikian, hasil yang dicapai masih kurang memuaskan karena kandungan karotenoid pada varitas IR 64 dan Taipei 309 tersebut masih tergolong rendah yaitu berturut-turut 0.4 mikrog/g dan 1.2 mikrog/g [4].

Golden Rice 2
Munculnya golden rice pada tahun 2000 langsung mendapat reaksi keras dari para oposisi GMO (genetically modified organism). Reaksi ini muncul karena adanya kekhawatiran masyarakat akan tingkat keselamatan konsumsi golden rice. Namun polemik yang muncul tersebut tidak mematahkan semangat dua peneliti utama golden rice, yaitu Ingo Potrykus dan Peter Beyer, untuk terus berkarya dan melakukan penelitian dengan tujuan lebih meningkatkan kandungan beta-karoten pada biji padi.

Bahkan untuk menjawab polemik yang muncul tersebut, Ingo Potrykus menulis sebuah artikel dalam jurnal Plant Physiology dengan judul "Golden Rice and Beyond" yang merupakan penjelasan menyeluruh terhadap status golden rice dan bagaimana seharusnya masyarakat umum menyikapinya [5].

Penelitian peningkatan kandungan beta-karoten pada golden rice terus dilakukan selama kurang lebih lima tahun. Fokus riset masih bertumpu pada tingkat efisiensi ke-3 jenis gen yang telah diintroduksikan yaitu psy, crtI dan lyc. Sehingga pada akhirnya para ahli tersebut merumuskan hipotesa bahwa gen psy-lah yang paling berperan dalam jalur biosintesa karotenoid tersebut.
Untuk menguji kebenaran hipotesa, mereka mengisolasi dan menguji efisiensi gen psy dari berbagai tanaman seperti Arabidopsis, wortel, paprika, jagung, tomat, bahkan padi sendiri. Pengujian awal dilakukan dengan cara overeskpresi gen-gen psy pada callus jagung. Callus dipilih karena sifat integrasinya yang stabil terhadap gen yang ditransformasikan (transgene) [6].

Seleksi efisiensi dilakukan berdasar jumlah karotenoid yang diproduksi dan warna callus (intensitas warna) yang menunjukkan tingkat efisiensi transgene. Gen psy dari jagung menunjukkan tingkat efisiensi paling tinggi dibanding dengan psy dari tanaman lainnya. Berdasar pada hasil tersebut, maka transfromasi pada padi lakukan dengan menyisipkan gen psy dari jagung bersama dengan gen crtI. Hasil yang dicapai bisa dibilang memuaskan karena kandungan karotenoid pada biji "Golden rice 2" mencapai 37 mikrog/g [7], yang berarti 23 kali lipat dibanding golden rice generasi pertama. Dari total karotenoid tersebut, 31 mikrog/g-nya adalah beta-karoten. Penampakan biji golden rice generasi pertama dan golden rice 2 bisa dilihat pada gambar berikut:

Gambar 1. Penampakan biji padi biasa (wilt type), golden rice 1 (Np Psy/crtI), dan golden rice 2 (Zm Psy/crtI)

Potensi Golden Rice 2
RDA (recommended daily allowance) dari vitamin A untuk anak-anak berumur 1 sampai 3 tahun adalah 300 mikrog. Sedangkan faktor konversi beta-karoten (provitamin A) dari total makanan adalah 12. Dengan menggunakan faktor konversi tersebut maka bisa dibuat semacam hitungan sederhana yaitu 24 mikrog/g provitamin A, sehingga 72 gram berat kering golden rice 2 mampu menyediakan 50% RDA untuk anak-anak. Hal ini menunjukkan bahwa golden rice 2 memiliki sebuah potensi yang besar untuk menyelamatkan anak-anak dari kekurangan vitamin A.

Satu lagi pertanyaan yang timbul di benak para petani dan masyarakat pada umumnya yaitu bagaimana mendapatkan benih golden rice dan mahalkah harganya? Sebenarnya pertanyaan ini sudah lama menjadi topik diskusi para perakit (ilmuwan) dan penyuntik dana riset golden rice itu sendiri (Syngenta). Dan berdasarkan berita dari IRRI (International Rice Research Institute) yang dikutip kantor berita Reuters, pengujian penanaman golden rice di lahan di Asia (Philipina) telah dimulai awal April tahun ini. Sedangkan untuk para petani, benihnya baru bisa didapatkan pada tahun 2011. Dengan mudahnya para petani mendapat benih dan membudidayakan golden rice, maka secara tidak langsung akan dapat menekan harganya. Namun terlepas dari itu semua, keamanan konsumsi bagi anak-anak untuk kelengkapan kebutuhan vitamin A tetap menjadi prioritas utama.

Bahan bacaan:
1. Ye, X. et al. Engineering the provitamin A (beta-ca
Sumber : http://www.beritaiptek.com/

Monday, January 19, 2009

Agrowisata Perlu Dibangun di Parangtritis


Oleh : Hatta Sunanto
KR. 19/01/2009

BARU-BARU ini saya menyempatkan diri untuk melihat-lihat situasi kondisi objek wisata Parangtritis pasca penertiban dan pembangunan, dimana sudah tidak ada lagi gubug-gubug atau warung-warung yang kumuh. Sebagai ganti telah dibangun kios-kios dan los-los pasar yang masih kelihatan baru, namun sayangnya kawasan tersebut kelihatan gersang dan panas, serta sepi pengunjung. Objek wisata Parangtritis banyak dikunjungi wisatawan hanya pada tiap hari Minggu atau pada hari-hari liburan, sehingga kios-kios warung hampir sebagian besar membuka usahanya hanya pada hari-hari libur.

Mengingat objek wisata Parangtritis itu memiliki potensi dan sudah dikenal masyarakat luas, maka perlu adanya kepedulian untuk mengembangkan objek wisata tersebut, sehingga terjadi peningkatan daya tarik terhadap wisatawan. Peningkatan daya tarik itu akan terjadi karena wisatawan tidak hanya monoton menikmati pantainya dengan ombak-ombak besar yang bergulung-gulung, tetapi juga kesejukan dan keindahan vegetasi atau tumbuhan serta perikanan yang tertata sebagai objek agrowisata. Dengan demikian maka wisatawan dapat berlama-lama atau betah di objek wisata Parangtritis yang berdampak positif secara ekonomi.

Agrowisata
Yang dimaksud agrowisata adalah pengertian yang sesuai dengan rumusan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pertanian dengan Menteri Pariwisata Pos dan Telekomunikasi Nomor 204/KPTS/MK050/4/1989, yaitu suatu bentuk kegiatan pariwisata dengan tujuan untuk memperkuat pengetahuan, pengalaman, rekreasi dan hubungan usaha di bidang agro atau pertanian dalam arti luas yaitu meliputi tanaman pangan, perkebunan, kehutanan, peternakan, dan perikanan.

Khusus bagi objek wisata Parangtritis dengan kondisi lingkungannya yang spesifik yaitu lahannya berupa gumuk-gumuk pasir, tiupan anginnya sangat kencang dan cukup panas udaranya, maka jenis vegetasi dan kultur teknisnya harus disesuaikan dengan kondisi tersebut.

Tanaman keras atau pepohonan yang cocok atau dapat tumbuh baik pada lahan pasir yang kering terutama adalah cemara udang, kayu putih, dan beringin. Tiga jenis tanaman ini cukup bagus ditanam di objek wisata Parangtritis agar dapat memberikan suasana yang indah karena bentuk kanopinya memang indah di samping sebagai penyejuk kawasan. Yang perlu mendapatkan perhatian adalah kultur teknis penanamannya, yaitu pemberian pupuk organik yang banyak terutama pupuk kandang di tempat bibit tanaman akan ditanam, dan penanamannya pada awal musim hujan. Tata letak berbagai jenis tanaman tersebut perlu diatur sedemikian rupa sehingga mempunyai nilai artistik berdasarkan prinsip arsitektur tanaman. Khusus mengenai tanaman kayu putih, pohon ini di samping dapat memperindah dan memberikan kesejukan kawasan Parangtritis, juga secara periodik dapat diambil daunnya untuk disuling sehingga dapat menghasilkan komoditas minyak kayu putih yang pangsa pasarnya masih selalu tetap baik.

Jika pepohonan tanaman keras tersebut dapat tumbuh baik melalui perawatan atau pemeliharaan yang baik, maka kemudian dapat dilanjutkan dengan penanaman atau peletakan berbagai tanaman perdu dan tanaman hias dalam pot di bawah pepohonan tanaman keras tadi yang kanopinya sudah mampu melindunginya. Yang perlu diperhatikan dalam perawatan atau pemeliharaan tanaman perdu dan tanaman hias itu sudah terlebih dahulu menyiapkan pipa-pipa saluran air tawar dan bak-bak penampungan airnya yang diletakkan di kawasan wisata. Tentu saja sumber air tawar yang akan disalurkan untuk pemeliharaan tanaman perdu dan tanaman hias pada musim kemarau itu sudah disiapkan sebelumnya. Mengenai pipa-pipa saluran air beserta bak-bak penampungannya tersebut dapat mencontoh di kawasan pantai Samas, yang dengan prasarana infrastruktur tersebut maka berbagai tanaman yang menghasilkan berbagai komoditas pangan dan sayuran dapat tumbuh baik.

Daya tarik objek wisata Parangtritis dapat lebih menguat lagi jika dapat mencontoh objek wisata di Ancol (wilayah DKI), yaitu berupa aquarium-aquarium berukuran kecil sampai yang berukuran besar dimana dapat dipelihara jenis-jenis ikan laut berukuran kecil sampai ukuran besar seperti ikan Yu dan lain-lain.

Pembangunan agrowisata tersebut di atas tentu saja jangan sampai merusak kondisi alamiah pantai Parangtritis yang berupa gumuk-gumuk atau gunungan-gunungan pasir yang terbentuk secara alamiah itu sangat langka sehingga merupakan objek wisata tersendiri.

Penutup
Setelah terjadinya penertiban dan penataan di kawasan objek wisata Parangtritis, sekarang ini tampak bangunan los-los dan kios-kios usaha ekonomi secara permanen. Namun sayangnya kawasan tersebut terlihat gersang dan kaku sehingga objek wisatanya kelihatan monoton yaitu hanya pantainya saja yang menjenuhkan.

Agar Parangtritis memiliki daya tarik wisatawan yang lebih kuat dan tidak menjemukan, maka perlu dibangun agrowisata sehingga wisatawan merasa betah atau berlama-lama mengunjungi Parangtritis. Peningkatan jumlah wisatawan yang besar tentu saja dapat meningkatkan pendapatan daerah, membuka kesempatan kerja dan berbagai manfaat positif lainnya. Suatu usaha investasi yang cukup menarik dan prospektif. q - m. (110-2009).

*) Ir Hatta Sunanto MS,

Pengamat Pembangunan Pertanian dan Pariwisata.

Menyuburkan Lahan Gambut dengan Mikroba


Pembuatan kanal di lahan proyek lahan gambut sejuta hektar di Kalimantan Tengah justru membuat kerusakan lahan gambut yang parah. Akibatnya, kebakaran hutan saat musim kemarau sering terjadi.

Pemanfaatan lahan di Indonesia sejak dulu telah salah arah. Lahan subur, terutama di Jawa, tak terbendung terus berubah fungsi ke nonpertanian. Sementara itu, kebutuhan pangan yang terus meningkat memaksa pemanfaatan lahan kering dan marginal yang umumnya di luar Jawa. Di sinilah rekayasa teknologi berperan untuk mengubahnya menjadi lahan subur. Salah satu yang kini gencar disasari adalah lahan gambut.

Dalam ASEAN-China Workshop on the Development of Effective Microbial Consortium Poten in Peat Modification di Jakarta, Senin (10/11), tim peneliti mikroba dari Pusat Teknologi Bioindustri BPPT (Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi), yang diketuai Gatyo Angkoso, melaporkan keberhasilan mereka menyuburkan lahan gambut dengan menambahkan limbah selulosa dari perkebunan kelapa sawit dan memasukkan secara bersamaan beberapa jenis isolat mikroba tertentu.

Perlakuan ini dapat mengurangi tingkat keasaman atau menaikkan pH lahan gambut dari rata-rata 3,5 menjadi 5,5, jelas Direktur Pusat Teknologi Bioindustri, Koesnandar, yang juga terlibat dalam riset tersebut, di Rasau dan Siantan, Kalimantan Barat. Selama ini lahan gambut secara alami memang tidak subur karena memiliki keasaman tinggi atau kebasaannya (pH) rendah, antara 2,8 dan 4,5. Sifat lain lahan gambut yang tidak menguntungkan adalah nilai kapasitas tukar kation dan kandungan organik yang tinggi.

Penyuburan lahan gambut dilakukan dengan memasukkan konsorsia atau beberapa kelompok mikroba. Dijelaskan Diana Nurani, peneliti, riset yang dilakukan sejak tahun 2006 berhasil diisolasi puluhan mikroba di dua daerah di Pontianak itu. Dari puluhan ditemukan empat kelompok mikroba yang memiliki kinerja yang baik dalam meningkatkan kebasaan lahan gambut.

Ditambahkan Koesnandar, mikroba itu ditemukan di lahan gambut, pada limbah kelapa sawit, dan kotoran sapi. Dari efeknya pada tanah gambut, konsorsia mikroba itu bersimbiosa mutualisme. Penelitian lebih lanjut akan dilakukan untuk meneliti peran dan karakteristik masing- masing mikroba.

Aplikasi empat kelompok mikroba pada tanah gambut selain dapat meningkatkan pH, juga terbukti memperbaiki struktur tanah dan meningkatkan ketersediaan mineral. Keuntungan lainnya adalah mengganti cara konvensional, yaitu pembakaran yang biasa dilakukan petani di lahan gambut untuk meningkatkan pH tanah gambut.

Indonesia memiliki kawasan gambut keempat terluas di dunia, yakni 20,6 juta hektar. Peringkat pertama adalah Kanada (170 juta ha), Uni Soviet (150 juta ha), dan Amerika Serikat (40 juta ha). Lahan gambut di Indonesia terbanyak dijumpai di Sumatera (35 persen), Kalimantan (30 persen), dan Papua (30 persen). (YUN)

Sumber : Kompas Cetak

Membuat Padi Tumbuh Seperti Jagung

Konsorsium peneliti dunia yang bergabung di bawah koordinasi International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina menggelar proyek ambisius untuk mengubah cara tumbuh padi bak tanaman jagung ataupun sorghum. Membuat padi tumbuh seperti kedua jenis tanaman itu berarti bisa menambah produktivitas padi sebesar 50 persen lagi dari tingkat produksi maksimal selama ini.

John Sheehy dari IRRI, yang memimpin konsorsium peneliti itu, menyatakan produksi beras dari sawah-sawah sebenarnya masih bisa ditingkatkan lagi meski dengan konsumsi air, penggunaan lahan, dan pemberian pupuk yang tetap bahkan berkurang---sebuah bayangan atas kondisi sawah dan produksi beras di masa depan. Tanaman padi, Sheehy menjelaskan, dikenal menggunakan formulasi fotosintesis C3 yang relatif tidak efisien.

Fotosintesis, proses pemanfaatan sinar matahari untuk menangkap karbon dioksida dan mengubahnya ke dalam bentuk karbohidrat---"bahan bakar" untuk pertumbuhan---memang berbeda-beda untuk berbagai jenis tanaman. Dalam iklim tropis, Sheehy dan teman-temannya di IRRI mengetahui bahwa kelompok tanaman yang menggunakan formulasi fotosintesis C4, seperti jagung dan sorghum, justru bisa 50 persen lebih efektif dalam urusan konversi energi dari matahari itu.

Dalam proyek yang diberi nama C4 Rice Consortium, Sheehy dan timnya berharap bisa "membelokkan" tanaman padi ke dalam kelompok tanaman C4 itu. Tanaman padi yang berformula C4 juga diyakini bisa membuat penggunaan airnya dua kali lebih efektif, tidak rakus lagi. "Mengkonversi formulasi fotosintesis padi dari C3 yang tidak efisien menjadi C4 bisa meningkatkan produktivitas jenis tanaman ini 50 persen lebih banyak," kata Sheehy.
Kalau bisa dilakukan, itu artinya akan ada lebih banyak padi yang bisa tumbuh meski sumber daya yang tersedia stagnan atau malah tertekan. Efek berikutnya, tentu, mengatasi lonjakan harga beras yang tahun lalu sempat menyentuh US$ 1.000 per ton.

"Perubahan-perubahan biologis yang dibutuhkan untuk kami kerjakan dalam tanaman padi ini mungkin bisa diaplikasikan juga dalam jenis tanaman lain, seperti gandum dan kedelai," kata Achim Dobermann, Wakil Direktur Jenderal IRRI untuk Riset.
IRRI, kata Dobermann lagi, berambisi bisa memahami kebutuhan-kebutuhan yang mendasar untuk mengubah anatomi dedaunan yang dibutuhkan jenis-jenis padi hibrida. Berbagai jenis tanaman juga tak akan sungkan untuk dipindai demi mencari keperluan dan fitur-fitur spesifik Padi C4.

"Ini adalah proyek kompleks dan akan makan waktu satu dekade atau lebih untuk menyelesaikannya," ujar Sheehy sembari menambahkan, "Hasil dari riset strategis ini berpotensi menguntungkan bagi miliaran orang miskin di dunia."
Dengan harganya yang terus melambung dan kebutuhan kepala yang juga semakin banyak untuk disuapi, para ahli mengatakan bahwa peningkatan panenan---jumlah beras yang bisa diproduksi dari luasan lahan yang tetap---akan sangat krusial untuk bisa mengatasi kemiskinan di planet ini pada tahun-tahun mendatang. "Keuntungan dari keberhasilan proyek ini menjelang peningkatan populasi dunia, peningkatan harga bahan pokok, dan berkurangnya sumber daya alam akan sangat besar," kata Sheehy.

IRRI pernah begitu berjasa dalam pengembangan varietas modern padi berproduksi tinggi di Asia pada 1960-an. Saat itu IRRI menyediakan dasar bagi transformasi ekonomi di benua yang sama. Kini IRRI mencoba turun gunung dengan menyatakan produksi padi harus ditingkatkan lagi karena lonjakan harga serta ketersediaan air dan lahan yang semakin terbatas itu.
IRRI berencana menggunakan "peralatan molekuler modern" untuk menggarap proyeknya kali ini. Berbekal sumbangan dana sebesar US$ 11 juta dari Yayasan Bill dan Melinda Gates, C4 Rice Consortium melibatkan para ahli biologi molekuler, genetika, fisiologi, biokimia, dan matematika dari Amerika Serikat, Inggris, Australia, Jerman, Cina, Kanada, serta Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).wuragil/afp/businessworld/irri

Padi Tahan Kering LIPI
Pendekatan yang digunakan memang berbeda, tapi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia juga memiliki proyek dengan tanaman padi. Juga menjalin kerja dengan IRRI, para peneliti lokal saat ini sedang berusaha merekayasa genetika padi agar lebih tahan terhadap cekaman kekeringan tanpa mengurangi tingkat produksi dan cita rasa beras olahannya.
Satya Nugroho dari Pusat Penelitian Bioteknologi LIPI, yang terlibat dalam riset itu, mengungkapkan bahwa sejumlah gen sudah ditandai sebagai kandidat yang akan direkayasa. Satu di antaranya bahkan sudah masuk dalam uji lapangan. "Hasilnya, padi memang jadi lebih tahan terhadap cekaman kekeringan, tapi tingkat produksinya berkurang," ujar doktor di bidang biokimia dan biomolekuler itu.

Efek samping itulah yang kini masih diteliti. Bisa jadi itu karena ekspresi gen yang berlebih sehingga protein, misalnya, malah menjadi toksin. Ekspresi berlebih juga bisa berupa sifat yang diinginkan muncul bukan pada saat yang tepat. Gen pendukung sifat tahan kering, misalnya, diharapkan baru terekspresi ketika masa kekeringan memang mulai mencekam.
"Kami sedang mencari gen promotor yang mengendalikan ekspresi gen tahan kekeringan itu," kata Satya seraya menambahkan, "Merekayasa langsung kepada promotornya itu akan lebih efektif daripada cuma pada gen pengendali bukaan stomata (mulut daun), sistem perakaran, daya pegang air dalam sel, atau perilaku lainnya yang bisa mempengaruhi sifat tahan kekeringan."

Begitu didapat, promotor gen harus diklon sebelum difusikan kepada gen target dan tanaman kembali diuji di lapangan. Satu gen kandidat rampung diuji, Satya dan kawan-kawannya akan beralih ke gen kandidat lain yang sebagian masih dalam isolasi. "Untuk setiap proses kloning dan fusi gen target kami butuh waktu satu tahun," kata Satya.

Proyek yang sudah bergulir sejak dua tahun lalu itu memang boleh dibilang masih tergolong awal. "Kami masih di level laboratorium," begitu kata Satya.wuragil

Sumber : Koran Tempo (16 Januari 2009)

Friday, January 16, 2009

Penerapan Bioteknologi Pangan, Mungkinkah?

Oleh: Bambang Tri Subeno

SELAIN beras, ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor sudah berada dalam tahap mencemaskan. Bahkan ada yang me¬nyebut telah masuk food trap atau perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Untuk memenuhi kebutuh¬an tujuh komoditas pangan uta¬ma nonberas kita menggan¬tung¬kan diri pada impor.

Data tahun 2007 menunjukkan impor gandum mencapai 100% terhadap kebutuhan nasional atau sekitar 5,5 juta ton; kedelai 70% (1,4 juta ton); susu 70% (1,5 juta ton); gula 30% (1,3 juta ton); daging sapi 30% (650 ribu ekor); dan jagung 7% (0,6 juta ton).

Khusus beras, tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan positif, yakni impor terus berkurang, bahkan surplus. Merujuk angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi tahun ini akan mencapai 60,28 juta ton gabah ke¬ring giling (GKG) atau se¬tara dengan 35,26 juta ton beras.

Dengan tingkat konsumsi beras nasional sebesar 32 juta ton berarti ada surplus 3 juta ton. Surplus tersebut memungkinkan Indonesia mengeks¬por beras tahun depan. Pres¬tasi itu jelas membanggakan karena tanpa impor sebagaimana raihan swasembada beras pada 1984 lalu.

Ketergantungan terhadap impor beberapa bahan pangan jelas menjadi keprihatinan tersendiri. Keadaan demikian merupakan ancaman serius pada ketahanan, bahkan ke¬daulatan pangan nasional. Tanpa upaya dan kerja keras, bangsa ini bisa benar-benar masuk perangkap pangan.

Ada banyak tantang¬an yang bakal dihadapi untuk meme¬nuhi kebutuhan bahan pangan utama itu. Tantangan terberat ada¬¬lah kenyataan bahwa Jawa yang luasnya hanya 6,5% dari da¬ratan Indo¬nesia memasok 53% kebutuhan pangan nasional.

Melihat angka-angka di atas bisa disimpulkan betapa mengerikan andai tidak ada langkah-langkah strategis menuju kemandirian produksi pangan untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan yang berkelanjutan atau lestari.

Memang, di tengah arus globalisasi Indonesia tidak bisa seratus persen mandiri. Ada ketergantungan, tetapi dalam batas yang masih bisa dikendalikan. Kalau sewaktu-waktu terjadi gejolak harga pangan global, kita masih mampu menyediakan. Itulah yang disebut sebagai ketahanan dan kedaulatan pangan.

Di samping langkah dan upaya yang bersifat konvensional, kita perlu mempertimbangkan penerapan bio¬teknologi untuk meningkatkan produksi pangan agar mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat tanpa bergantung pada impor.

Cara konvensional membutuhkan biaya besar, terutama untuk pengolahan tanah serta pengadaan bibit dan obat-obatan. Belum lagi kendala yang menyebabkan kegagalan panen berupa kekeringan dan perubahan iklim yang susah diramalkan.

Melalui rekayasa genetika, tanaman misalnya, dimodifikasi di laboratorium untuk memperbaiki sifat-sifat yang di¬inginkan. Antara lain me¬ning¬katkan resistensi atau daya tahan terhadap pestisida serta memperbaiki kandungan gizinya.

Perbaikan sifat-sifat tanaman itu secara konvensional dapat dilakukan dengan cara breeding atau pemuliaan. Namun cara tersebut memerlukan waktu lama dan hasilnya pun tidak terlalu akurat sebagaimana yang diinginkan.

Rekayasa genetika dapat menciptakan tanaman baru secara cepat dan akurat. Contohnya, ahli genetika telah mampu mengisolasi gen yang toleran terhadap kekeringan dari tanaman tertentu dan menyisipkan gen tersebut ke tanaman lain. Tanaman baru hasil rekayasa itu akan memiliki sifat tahan kekeringan.

Bukan hanya transfer gen antartanaman, tetapi juga gen dari organisme lain nontanaman dapat digunakan. Contoh mutakhir yang menimbulkan kontroversi adalah penggunaan gen bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) pada jagung.

Bakteri itu secara alamiah dapat memproduksi suatu kristal protein yang mematikan larva serangga. Gen pembentuk kristal protein itu disisipkan pada DNA jagung, sehingga dapat memproduksi sendiri pestisida untuk melawan serangga pengganggu.

Namun harus diakui di luar keuntungan-keuntungan yang bakal diperoleh dan segi-segi positifnya, pemanfaatan reka¬yasa genetika hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra dengan berbagai alasan masing-masing.

Pihak yang pro dan dimotori oleh AS beralasan rekayasa genetika perlu dikembangkan antara lain menghasilkan tanaman tahan hama dan penyakit; mengurangi biaya pemakaian insektisida dan herbisida; menghasilkan pangan murah; serta hasil penelitian menunjukkan aman dikonsumsi.

Negara-negara yang kontra berasal dari Eropa, terutama Prancis dan Italia punya alasan, yakni transfer gen antarspesies tidak etis; hak intelektual produk rekayasa genetika hanya dimiliki oleh sedikit kalangan; benih transgenik mahal; menimbulkan risiko aliran gen dari tanaman rekayasa ke tanaman asli.

Berkembang

Terlepas dari segala kontroversinya komersialisasi ta¬naman bioteknologi di dunia berkembang pesat. Sejak dimulai sekitar sepuluh tahun lalu luasnya meningkat 50 kali lipat lebih. Dari semula 1,7 juta hektare di enam negara pada 1996, tahun 2005 telah menjadi 90 juta hektare di 11 negara.

Di Indonesia, kapas transgenik pernah diuji coba di Sulawesi Selatan sekitar dua tahun lalu. Namun kemudian gagal dan tidak lagi ada kabarnya. Di sisi lain, sesuai dengan data USDA (GAIN Report Number: ID5014) AS telah mengekspor produk rekayasa genetika ke Indonesia senilai 600 juta dolar pada 2004.
Produknya antara lain berupa kapas dan jagung Bt, serta kedelai toleran herbisida. Hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 2001, 2002, dan Desember 2005 menunjukkan pangan rekayasa genetika turunan kedelai, jagung, dan kentang telah beredar luas baik ber¬merek maupun tidak.

Indonesia sudah memiliki peraturan yang jelas. Pasal 13 UU No 7/1996 tentang Pangan menyebutkan setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan baku lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

Dari segi aturan, kita sudah menunjukkan sikap berhati-hati pada kemungkinan menerapkan bioteknologi pangan. Banyak misteri yang perlu diungkap, khususnya dampak bagi kesehatan manusia dan lingkungan sehingga butuh riset-riset lanjutan dan mendalam tentang keamanannya.

Tak dapat diabaikan pula pendekatan dari aspek sosial-kultural dan sosial-religius menyangkut etis dan tidaknya dibudidayakan secara massal dan dikonsumsi.

Masih sedikit yang diketahui mengenai masalah yang mungkin timbul dalam jangka panjang akibat konsumsi pangan rekayasa genetika. Jadi, kemungkinan penerapannya di Indonesia masih memerlukan kajian dan riset secara komprehensif meski untuk tujuan mulia.

Dari segi sumber daya, kita sudah siap. Pakar bioteknologi bertebaran di berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset. Pusat-pusat pe¬nelitian reka¬yasa genetika atau biologi molekuler juga kian berkembang. Ditambah kekayaan plasma nutfah berupa flora maupun fauna sebagai bahan baku.

(Bambang Tri Subeno-27-Suara Merdeka)

Mengubah Asap Menjadi Pestisida Organik


Asap hasil pembakaran batu bata menjadi salah satu sumber polusi udara. Asap ini bisa membuat orang sesak napas. Baunya juga bertahan sampai beberapa hari, baik di baju maupun badan. Namun, di sisi lain, asap tersebut ternyata bisa bermanfaat sebagai pestisida dan pengawet organik.

Muhammad Khairul Ihwan termasuk orang yang risau dengan bahaya asap yang mengancam kesehatan warga di kampungnya, Dusun Dalam Desa, Desa Pringgajurang, Kecamatan Montong Gading, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.

Pasalnya, di dusun itu ada lebih dari 150 gudang tempat pembakaran batu bata dengan frekuensi pembakaran tiga kali sebulan. Mereka menggunakan sekam padi sebagai bahan baku pembakaran. Total keperluan sekam untuk sekali proses pembakaran 3,5 ton, dengan menyisakan abu sekitar 2.800 kilogram.

Dari abu ditambah jumlah unit pembakaran itu, potensi asap di dusun tersebut menjadi begitu besar. Jika gudang pembakaran ini difungsikan dalam waktu bersamaan, ”Suasana di kampung kami seperti sedang terjadi kebakaran hutan,” kata Iwan, sapaan Khairul Ihwan.

Asap tak terkendali. Maka, di sore hari sekalipun, pandangan pejalan kaki dan pengendara sepeda motor di jalanan menjadi terbatas. Lebih repot lagi di malam hari, kepulan asap masuk ke dalam rumah penduduk, membuat ruangan kian gelap, pekat, dan penghuni pun terbatuk-batuk, sulit bisa tidur nyenyak.

Di lain pihak, penghasilan para pekerja di industri batu bata itu tak sesuai dengan energi yang terpakai. Dari mencetak hingga proses pembakaran 1.000 buah batu bata, diperlukan waktu tiga hari. Para pekerja—biasanya suami-istri—hanya mendapat upah Rp 35.000 per tiga hari kerja itu.

Mereka juga harus mengangkut batu bata mentah ke tempat pembakaran—berupa gubuk, beratap ilalang, tanpa dinding—yang berjarak 700 meter dari lokasi pencetakan. Di tempat ini, batu bata menjadi matang dalam tempo 6-7 hari.

Biasanya para pekerja dibayar di muka oleh pemilik tanah sekaligus si empunya tempat pembakaran. Jika dalam waktu yang ditentukan target produksi batu bata belum tercapai, para pekerja minta panjar lagi. Sebab, uang mereka sudah habis untuk keperluan makan-minum setiap hari.

Gudang uji coba

Kondisi itu membuat Iwan terpacu untuk membantu warga dusunnya keluar dari lingkaran realitas hidup selama ini. Dia tahu, di Yogyakarta ada produk asap cair berbahan baku tempurung kelapa.

”Saya berpikir, di kampung saya produk sekam begitu banyak dan nyaris dibuang percuma. Kenapa sekam itu tidak saya coba untuk dimanfaatkan,” cerita Iwan.

Ia kemudian mendesain dan membangun gudang uji coba pembakaran batu bata pada tanah milik seorang anggota Kelompok Usaha Ekonomi Produktif di desanya. Gudang ini berukuran 2,5 meter x 1,7 meter dengan tinggi 2,5 meter, berkapasitas 2.000 buah batu bata.

Gudang yang salah satu sisinya terbuka atau mirip garasi itu berdinding permanen, beratap daun kelapa yang melapis terpal plastik di bawahnya guna menahan asap keluar lewat sela-sela daun kelapa itu.

Untuk membangun gudang uji coba tersebut, Iwan menyisihkan gajinya sebagai guru Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 1 Selong, ibu kota Lombok Timur. Total biaya pembangunan gudang termasuk pembelian instalasi proses mendapatkan asap cair menghabiskan sekitar Rp 5,5 juta.

Asap pembakaran batu bata dialirkan melalui pipa kondensi berbentuk spiral sepanjang 12 meter berisi air agar fase asap yang berbentuk gas akan mencair. Asap cair yang dihasilkan masih pekat dan mengandung banyak tar. Asap cair itu kemudian dimurnikan memakai alat lain berupa bejana tertutup, dengan cara dimasak selama tiga jam dalam suhu 100 derajat-150 derajat Celsius. Dari proses ini dihasilkan asap cair yang bening.

Bejana itu berkapasitas 30 liter. Dengan sekam 800 kg untuk pembakaran 2.000 batu bata, dihasilkan 60 liter asap cair pekat. Lalu, setelah melalui proses penyulingan dalam bejana tertutup, diperoleh 24 liter asap cair bening yang berguna untuk pestisida organik, seperti untuk mengusir hama tanaman dan mencegah gigitan nyamuk pada ternak.

”Penduduk menggunakan asap cair bening untuk mengobati bekas gigitan nyamuk pada ternak sapi. Kita juga bisa memakainya, asalkan tahan dengan baunya,” tutur Iwan.

Adapun sisa asap cair yang masih berwarna hitam pekat sebanyak sekitar 5 liter digunakan, antara lain, untuk mengawetkan kayu. Caranya, kayu direndam dalam air asap cair pekat atau dioleskan dengan kuas pada kayu agar kayu tidak dimakan rayap.

Dari telusur pustaka diketahui, asap cair mengandung fenolat, senyawa asam dan karbonil yang berguna untuk mengawetkan makanan. ”Komponen asap khususnya berfungsi memberi cita rasa dan warna yang diinginkan pada produk asapan karena berfungsi sebagai antibakteri dan antioksidan,” kata Iwan.

Menjadi rebutan

Asap cair hasil kreasi Iwan menjadi rebutan warga setempat, terutama para petani dan peternak. Mereka memerlukannya sebagai alat untuk melakukan pekerjaan alternatif selain membuat batu bata, yakni untuk mengusir hama yang mengganggu tanaman padi.

Bahkan, setelah merasakan hasil proses asap cair itu, seorang pengusaha di desanya menyediakan lahan untuk membangun gudang lebih besar, yang bisa menampung pembakaran batu bata dalam jumlah lebih besar, sekitar 10.000 buah. Apalagi asap cair itu bisa dijual, selain juga lebih efisien dari segi biaya dan waktu proses pembakaran. Kalau pembakaran secara tradisional memerlukan waktu 6-7 hari, dengan alat temuan Iwan bisa dipersingkat menjadi 3-4 hari.

Iwan merasa senang karena apa yang dia lakukan ternyata bermanfaat bagi orang banyak. Selain secara ekonomis lebih menguntungkan, dia juga bahagia karena pengolahan batu bata hasil percobaannya juga relatif mengurangi risiko gangguan penyakit saluran pernapasan, terutama pada para pekerja dan warga yang melakukan kontak langsung dengan kegiatan pembakaran batu bata itu.

Lebih dari itu, Iwan juga mampu menjawab keraguan dosen pembimbingnya di Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tempat ia menyelesaikan program magisternya.

”Asap cair dari sekam padi ini saya pakai untuk bahan penelitian dan disertasi. Awalnya, obyek penelitian dan judul disertasi saya dianggap lucu. Namun, saya yakin apa yang saya lakukan akan mencapai sesuai target,” ucap anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Ahmad dan Rusmiati ini.

Ia juga mengikutsertakan hasil penelitiannya itu dalam Lomba Teknologi Tepat Guna (TTG) yang diselenggarakan Pemerintah Provinsi NTB. Hasilnya? Iwan diberi anugerah TTG kategori Pengembang, berikut hadiah uang Rp 7 juta, yang diserahkan Gubernur Zainul Majdi seusai apel Hari Ulang Tahun Ke- 50 NTB, 17 Desember 2008 lalu.

KOMPAS. Selasa, 6 Januari 2009 |

Oleh: Nama: M Khairul Ihwan, MT
- Program Magister Fakultas Teknik UGM, 2006

Wonosobo Menanam

Oleh Haryati

SETIAP musim hujan tiba, berita tentang musibah tanah longsor dan banjir terdengar di mana-mana. Sedihnya, tidak hanya korban harta benda yang muncul, tapi tak jarang bencana alam tersebut juga memakan korban manusia. Sejumlah nyawa manusia melayang akibat kejadian yang datang tak pernah diduga-duga sebelumnya itu.

Wonosobo sebagai daerah pegunungan yang bercurah hujan tinggi, tak terlepas dari ancaman banjir dan tanah longsor. Fakta membuktikan, hampir tiap musim hujan kota itu menjadi langganan bencana tanah longsor dan banjir. Kondisi alamnya yang berbukit-bukit dan lingkungan yang rusak memang rawan terjadi musibah bencana alam.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH XI Yogyakarta, tercatat di kota ber-motto ASRI (aman, sehat, rapi dan indah) itu, terjadi 17 kali banjir dan 70 kali tanah longsor. Belum lagi musibah yang tidak terpantau oleh pemerintah kabupaten (pemkab) yang melanda lahan-lahan warga.

Musibah terakhir menimpa dua warga Gondang Watumalang dan Pungangan Mojotengah, yang meninggal akibat tertimpa longsoran tanah ketika kerja bakti menyingkirkan tanah longsor yang menutup saluran air di irigasi sungai Tunda Desa Pungangan, Kecamatan Mojotengah, belum lama ini.

Sebelum itu, juga dikabarkan di Desa Suroyudan, Sukoharjo, tanah permukiman warga mengalami retak-retak dan jika dibiarkan bisa terjadi longsor. Warga pun diimbau untuk memindahkan permukimannya ke lokasi lain yang relatif lebih aman. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Kepil.

Memang, sebagian desa di 15 kecamatan di kota itu kondisi alamnya naik-turun. Bahkan, tidak sedikit permukiman warga yang berada di tebing dan di atas perbukitan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kerusakan lingkungan di sekitarnya. Perlu kesadaran dari berbagai pihak agar kerusakan alam tidak kian parah.

Perilaku Manusia

Diakui atau tidak, kerusakan lingkungan tersebut akibat perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Warga cenderung mengekploitasi lahan untuk kepentingan ekonomi. Kasus itu banyak terjadi di wilayah pegunungan Dieng. Karena hasil yang didapat sangat baik, petani mengabaikan aspek keselamatan tanah dan lingkungan.

Komoditas tanaman keras yang sangat baik untuk menjaga kelestarian alam dibabat habis, diganti dengan tanaman produktif yang menguntungkan, meski dari aspek lingkungan sangat merugikan. Hutan lindung yang semula rimbun disulap menjadi lahan pertanian. Penjarahan hutan selama beberapa tahun hampir terjadi di semua wilayah hutan di Wonosobo.

Tidak itu saja, di wilayah Kertek, tempat terkandung banyak pasir dan batu, terjadi penambangan galian C yang tidak bijaksana, cenderung liar dan tidak peduli dengan kerusakan lingkungan. Meski berkali-kali pemkab melakukan tindakan pencegahan, tapi hingga hari ini pengerukan pasir di kaki Gunung Sindoro itu masih tetap berlangsung.

Padahal, lahan di atas lokasi penggalian menjadi pemasok air yang menjadi sumber penghidupan oleh sebagian warga Wonosobo. Jika penambangan pasir yang tidak ramah lingkungan itu tetap dibiarkan, dikhawatirkan beberapa sumber mata air akan macet dan warga Wonosobo beberapa tahun ke depan bisa mengalami krisis air bersih.

Tidak hanya warga Wonosobo yang terancam mengalami krisis air jika kerusakan lingkungan dan degradasi lahan tidak diatasi. Pasalnya, Wonosobo merupakan penyangga wilayah Kebumen dan Banjarnegara.

Saat ini nyata terjadi akibat penjarahan hutan dan kerusakan lingkungan sedimentasi Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica Banjarnegara tiap tahun selalu naik dan debit airnya berkurang.

Gerakan Menanam

Karena itu, guna mengatasi lingkungan yang makin kritis, upaya penyelamatan harus segera dilakukan. Gerakan Indonesia Menanam yang diikuti Gerakan Wonosobo Menaman harus terus digalakkan. Setidaknya, itu sebagai upaya mendorong masyarakat untuk terus gemar menanam.

Di Wonosobo sendiri Gerakan Wonosobo Menanam terus bergulir. Pasalnya, setelah dicanangkan gerakan penyelamatan lingkungan itu, gerakan sejenis terus berlanjut.

Ada Wakil Rakyat Menanam, Gerakan Wanita Menanam, Gerakan Wartawan Menanam, Gerakan Ibu Menanam Anak Memanen, Gerakan Pramuka Menanam, hingga Gerakan Santri dan Pelajar Menanam di berbagai lahan-lahan kosong milik pemerintah maupun perorangan.

Sayangnya, dari ribuan tanaman keras dan buah yang ditanam, dari data yang ada, hanya empat puluh persen yang berhasil. Sebab, gerakan menanam tersebut belum diikuti dengan gerakan memelihara bersama.

Mudah-mudahan gerakan perempuan tanam, tebar, dan pelihara yang dicanangkan di Bumi Perkemahan Cindai Mas Karanganyar, Wadaslintang, Wonosobo, beberapa waktu lalu tidak sekadar slogan, tapi ada tindak lanjut yang lebih konkret. Dengan demikian, Gerakan Wonosobo Menanam tidak hanya berhenti menanam, tapi juga diikuti dengan gerakan memelihara.

Selain gerakan menaman dan memelihara, harus ada upaya lain untuk menyelamatkan lingkungan. Seabab, rusaknya alam bukan hanya karena penebangan pohon dan penggalian liar, melainkan juga ulah manusia yang suka membuang sampah plastik dan sejenisnya di sembarang tempat. Perilaku itu tidak bisa dibiarkan terus menerus.
Rupaya itu memang masalah sepele, tapi jika tidak dibiasakan sejak dini maka gerakan menyelamatkan lingkungan akan sia-sia belaka. Pasalnya, dampak pembuangan sampah plastik di sembarang tempat tidak bisa dianggap enteng; lastik tidak bisa busuk, dan struktur tanah menjadi rusak dan tidak subur. Pohon yang ditanam pun tidak bisa hidup. Karena itu, mari bersama-sama selamatkan lingkungan!(68)

– Haryati, Sekretaris Pengurus Cabang Fatayat NU dan guru MAN Wonosobo.

Links Dunia Pertanian

Links Dunia Pertanian

1. Departemen Pertanian
2. Sinar Tani
3. Agrina
4. Pertanian Organik
5. Jurnal Pertanian dan Perikanan

Blog Teman

1. Plantpedia
2. Nicepedia


Ingin Tukar Menukar Links?

Silakan Berikan Komentar Serta Alamat URL Anda

E-Book Dunia Pertanian





Pemelihara Blog


Blog Ini dipelihara oleh Para Simpatisan dan Pemerhati "Dunia Pertanian" yang priharin atas kondisi "Dunia Pertanian" di Indonesia!

Moto: "Berbagi Informasi demi Terwujudnya Kemandirian Pangan Serta Kesejahteraan Bagi Para Petani"