Friday, January 16, 2009

Penerapan Bioteknologi Pangan, Mungkinkah?

Oleh: Bambang Tri Subeno

SELAIN beras, ketergantungan Indonesia terhadap bahan pangan impor sudah berada dalam tahap mencemaskan. Bahkan ada yang me¬nyebut telah masuk food trap atau perangkap pangan negara maju dan kapitalisme global. Untuk memenuhi kebutuh¬an tujuh komoditas pangan uta¬ma nonberas kita menggan¬tung¬kan diri pada impor.

Data tahun 2007 menunjukkan impor gandum mencapai 100% terhadap kebutuhan nasional atau sekitar 5,5 juta ton; kedelai 70% (1,4 juta ton); susu 70% (1,5 juta ton); gula 30% (1,3 juta ton); daging sapi 30% (650 ribu ekor); dan jagung 7% (0,6 juta ton).

Khusus beras, tiga tahun terakhir menunjukkan kecenderungan positif, yakni impor terus berkurang, bahkan surplus. Merujuk angka ramalan III Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi tahun ini akan mencapai 60,28 juta ton gabah ke¬ring giling (GKG) atau se¬tara dengan 35,26 juta ton beras.

Dengan tingkat konsumsi beras nasional sebesar 32 juta ton berarti ada surplus 3 juta ton. Surplus tersebut memungkinkan Indonesia mengeks¬por beras tahun depan. Pres¬tasi itu jelas membanggakan karena tanpa impor sebagaimana raihan swasembada beras pada 1984 lalu.

Ketergantungan terhadap impor beberapa bahan pangan jelas menjadi keprihatinan tersendiri. Keadaan demikian merupakan ancaman serius pada ketahanan, bahkan ke¬daulatan pangan nasional. Tanpa upaya dan kerja keras, bangsa ini bisa benar-benar masuk perangkap pangan.

Ada banyak tantang¬an yang bakal dihadapi untuk meme¬nuhi kebutuhan bahan pangan utama itu. Tantangan terberat ada¬¬lah kenyataan bahwa Jawa yang luasnya hanya 6,5% dari da¬ratan Indo¬nesia memasok 53% kebutuhan pangan nasional.

Melihat angka-angka di atas bisa disimpulkan betapa mengerikan andai tidak ada langkah-langkah strategis menuju kemandirian produksi pangan untuk mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan yang berkelanjutan atau lestari.

Memang, di tengah arus globalisasi Indonesia tidak bisa seratus persen mandiri. Ada ketergantungan, tetapi dalam batas yang masih bisa dikendalikan. Kalau sewaktu-waktu terjadi gejolak harga pangan global, kita masih mampu menyediakan. Itulah yang disebut sebagai ketahanan dan kedaulatan pangan.

Di samping langkah dan upaya yang bersifat konvensional, kita perlu mempertimbangkan penerapan bio¬teknologi untuk meningkatkan produksi pangan agar mampu memenuhi kebutuhan seluruh rakyat tanpa bergantung pada impor.

Cara konvensional membutuhkan biaya besar, terutama untuk pengolahan tanah serta pengadaan bibit dan obat-obatan. Belum lagi kendala yang menyebabkan kegagalan panen berupa kekeringan dan perubahan iklim yang susah diramalkan.

Melalui rekayasa genetika, tanaman misalnya, dimodifikasi di laboratorium untuk memperbaiki sifat-sifat yang di¬inginkan. Antara lain me¬ning¬katkan resistensi atau daya tahan terhadap pestisida serta memperbaiki kandungan gizinya.

Perbaikan sifat-sifat tanaman itu secara konvensional dapat dilakukan dengan cara breeding atau pemuliaan. Namun cara tersebut memerlukan waktu lama dan hasilnya pun tidak terlalu akurat sebagaimana yang diinginkan.

Rekayasa genetika dapat menciptakan tanaman baru secara cepat dan akurat. Contohnya, ahli genetika telah mampu mengisolasi gen yang toleran terhadap kekeringan dari tanaman tertentu dan menyisipkan gen tersebut ke tanaman lain. Tanaman baru hasil rekayasa itu akan memiliki sifat tahan kekeringan.

Bukan hanya transfer gen antartanaman, tetapi juga gen dari organisme lain nontanaman dapat digunakan. Contoh mutakhir yang menimbulkan kontroversi adalah penggunaan gen bakteri Bacillus thuringiensis (Bt) pada jagung.

Bakteri itu secara alamiah dapat memproduksi suatu kristal protein yang mematikan larva serangga. Gen pembentuk kristal protein itu disisipkan pada DNA jagung, sehingga dapat memproduksi sendiri pestisida untuk melawan serangga pengganggu.

Namun harus diakui di luar keuntungan-keuntungan yang bakal diperoleh dan segi-segi positifnya, pemanfaatan reka¬yasa genetika hingga kini masih menimbulkan pro dan kontra dengan berbagai alasan masing-masing.

Pihak yang pro dan dimotori oleh AS beralasan rekayasa genetika perlu dikembangkan antara lain menghasilkan tanaman tahan hama dan penyakit; mengurangi biaya pemakaian insektisida dan herbisida; menghasilkan pangan murah; serta hasil penelitian menunjukkan aman dikonsumsi.

Negara-negara yang kontra berasal dari Eropa, terutama Prancis dan Italia punya alasan, yakni transfer gen antarspesies tidak etis; hak intelektual produk rekayasa genetika hanya dimiliki oleh sedikit kalangan; benih transgenik mahal; menimbulkan risiko aliran gen dari tanaman rekayasa ke tanaman asli.

Berkembang

Terlepas dari segala kontroversinya komersialisasi ta¬naman bioteknologi di dunia berkembang pesat. Sejak dimulai sekitar sepuluh tahun lalu luasnya meningkat 50 kali lipat lebih. Dari semula 1,7 juta hektare di enam negara pada 1996, tahun 2005 telah menjadi 90 juta hektare di 11 negara.

Di Indonesia, kapas transgenik pernah diuji coba di Sulawesi Selatan sekitar dua tahun lalu. Namun kemudian gagal dan tidak lagi ada kabarnya. Di sisi lain, sesuai dengan data USDA (GAIN Report Number: ID5014) AS telah mengekspor produk rekayasa genetika ke Indonesia senilai 600 juta dolar pada 2004.
Produknya antara lain berupa kapas dan jagung Bt, serta kedelai toleran herbisida. Hasil penelitian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) 2001, 2002, dan Desember 2005 menunjukkan pangan rekayasa genetika turunan kedelai, jagung, dan kentang telah beredar luas baik ber¬merek maupun tidak.

Indonesia sudah memiliki peraturan yang jelas. Pasal 13 UU No 7/1996 tentang Pangan menyebutkan setiap orang yang memproduksi pangan atau menggunakan bahan baku, bahan tambahan pangan, dan atau bahan baku lain dalam kegiatan atau proses produksi pangan yang dihasilkan dari proses rekayasa genetika wajib terlebih dahulu memeriksakan keamanan pangan bagi kesehatan manusia sebelum diedarkan.

Dari segi aturan, kita sudah menunjukkan sikap berhati-hati pada kemungkinan menerapkan bioteknologi pangan. Banyak misteri yang perlu diungkap, khususnya dampak bagi kesehatan manusia dan lingkungan sehingga butuh riset-riset lanjutan dan mendalam tentang keamanannya.

Tak dapat diabaikan pula pendekatan dari aspek sosial-kultural dan sosial-religius menyangkut etis dan tidaknya dibudidayakan secara massal dan dikonsumsi.

Masih sedikit yang diketahui mengenai masalah yang mungkin timbul dalam jangka panjang akibat konsumsi pangan rekayasa genetika. Jadi, kemungkinan penerapannya di Indonesia masih memerlukan kajian dan riset secara komprehensif meski untuk tujuan mulia.

Dari segi sumber daya, kita sudah siap. Pakar bioteknologi bertebaran di berbagai perguruan tinggi dan lembaga riset. Pusat-pusat pe¬nelitian reka¬yasa genetika atau biologi molekuler juga kian berkembang. Ditambah kekayaan plasma nutfah berupa flora maupun fauna sebagai bahan baku.

(Bambang Tri Subeno-27-Suara Merdeka)

Related Posts by Categories :



0 comments:

Post a Comment