Friday, January 16, 2009

Wonosobo Menanam

Oleh Haryati

SETIAP musim hujan tiba, berita tentang musibah tanah longsor dan banjir terdengar di mana-mana. Sedihnya, tidak hanya korban harta benda yang muncul, tapi tak jarang bencana alam tersebut juga memakan korban manusia. Sejumlah nyawa manusia melayang akibat kejadian yang datang tak pernah diduga-duga sebelumnya itu.

Wonosobo sebagai daerah pegunungan yang bercurah hujan tinggi, tak terlepas dari ancaman banjir dan tanah longsor. Fakta membuktikan, hampir tiap musim hujan kota itu menjadi langganan bencana tanah longsor dan banjir. Kondisi alamnya yang berbukit-bukit dan lingkungan yang rusak memang rawan terjadi musibah bencana alam.

Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, menurut data Balai Pemantapan Kawasan Hutan BPKH XI Yogyakarta, tercatat di kota ber-motto ASRI (aman, sehat, rapi dan indah) itu, terjadi 17 kali banjir dan 70 kali tanah longsor. Belum lagi musibah yang tidak terpantau oleh pemerintah kabupaten (pemkab) yang melanda lahan-lahan warga.

Musibah terakhir menimpa dua warga Gondang Watumalang dan Pungangan Mojotengah, yang meninggal akibat tertimpa longsoran tanah ketika kerja bakti menyingkirkan tanah longsor yang menutup saluran air di irigasi sungai Tunda Desa Pungangan, Kecamatan Mojotengah, belum lama ini.

Sebelum itu, juga dikabarkan di Desa Suroyudan, Sukoharjo, tanah permukiman warga mengalami retak-retak dan jika dibiarkan bisa terjadi longsor. Warga pun diimbau untuk memindahkan permukimannya ke lokasi lain yang relatif lebih aman. Hal yang sama juga terjadi di wilayah Kepil.

Memang, sebagian desa di 15 kecamatan di kota itu kondisi alamnya naik-turun. Bahkan, tidak sedikit permukiman warga yang berada di tebing dan di atas perbukitan. Kondisi tersebut semakin diperparah dengan kerusakan lingkungan di sekitarnya. Perlu kesadaran dari berbagai pihak agar kerusakan alam tidak kian parah.

Perilaku Manusia

Diakui atau tidak, kerusakan lingkungan tersebut akibat perilaku manusia yang tidak ramah terhadap alam. Warga cenderung mengekploitasi lahan untuk kepentingan ekonomi. Kasus itu banyak terjadi di wilayah pegunungan Dieng. Karena hasil yang didapat sangat baik, petani mengabaikan aspek keselamatan tanah dan lingkungan.

Komoditas tanaman keras yang sangat baik untuk menjaga kelestarian alam dibabat habis, diganti dengan tanaman produktif yang menguntungkan, meski dari aspek lingkungan sangat merugikan. Hutan lindung yang semula rimbun disulap menjadi lahan pertanian. Penjarahan hutan selama beberapa tahun hampir terjadi di semua wilayah hutan di Wonosobo.

Tidak itu saja, di wilayah Kertek, tempat terkandung banyak pasir dan batu, terjadi penambangan galian C yang tidak bijaksana, cenderung liar dan tidak peduli dengan kerusakan lingkungan. Meski berkali-kali pemkab melakukan tindakan pencegahan, tapi hingga hari ini pengerukan pasir di kaki Gunung Sindoro itu masih tetap berlangsung.

Padahal, lahan di atas lokasi penggalian menjadi pemasok air yang menjadi sumber penghidupan oleh sebagian warga Wonosobo. Jika penambangan pasir yang tidak ramah lingkungan itu tetap dibiarkan, dikhawatirkan beberapa sumber mata air akan macet dan warga Wonosobo beberapa tahun ke depan bisa mengalami krisis air bersih.

Tidak hanya warga Wonosobo yang terancam mengalami krisis air jika kerusakan lingkungan dan degradasi lahan tidak diatasi. Pasalnya, Wonosobo merupakan penyangga wilayah Kebumen dan Banjarnegara.

Saat ini nyata terjadi akibat penjarahan hutan dan kerusakan lingkungan sedimentasi Waduk Wadaslintang dan Waduk Mrica Banjarnegara tiap tahun selalu naik dan debit airnya berkurang.

Gerakan Menanam

Karena itu, guna mengatasi lingkungan yang makin kritis, upaya penyelamatan harus segera dilakukan. Gerakan Indonesia Menanam yang diikuti Gerakan Wonosobo Menaman harus terus digalakkan. Setidaknya, itu sebagai upaya mendorong masyarakat untuk terus gemar menanam.

Di Wonosobo sendiri Gerakan Wonosobo Menanam terus bergulir. Pasalnya, setelah dicanangkan gerakan penyelamatan lingkungan itu, gerakan sejenis terus berlanjut.

Ada Wakil Rakyat Menanam, Gerakan Wanita Menanam, Gerakan Wartawan Menanam, Gerakan Ibu Menanam Anak Memanen, Gerakan Pramuka Menanam, hingga Gerakan Santri dan Pelajar Menanam di berbagai lahan-lahan kosong milik pemerintah maupun perorangan.

Sayangnya, dari ribuan tanaman keras dan buah yang ditanam, dari data yang ada, hanya empat puluh persen yang berhasil. Sebab, gerakan menanam tersebut belum diikuti dengan gerakan memelihara bersama.

Mudah-mudahan gerakan perempuan tanam, tebar, dan pelihara yang dicanangkan di Bumi Perkemahan Cindai Mas Karanganyar, Wadaslintang, Wonosobo, beberapa waktu lalu tidak sekadar slogan, tapi ada tindak lanjut yang lebih konkret. Dengan demikian, Gerakan Wonosobo Menanam tidak hanya berhenti menanam, tapi juga diikuti dengan gerakan memelihara.

Selain gerakan menaman dan memelihara, harus ada upaya lain untuk menyelamatkan lingkungan. Seabab, rusaknya alam bukan hanya karena penebangan pohon dan penggalian liar, melainkan juga ulah manusia yang suka membuang sampah plastik dan sejenisnya di sembarang tempat. Perilaku itu tidak bisa dibiarkan terus menerus.
Rupaya itu memang masalah sepele, tapi jika tidak dibiasakan sejak dini maka gerakan menyelamatkan lingkungan akan sia-sia belaka. Pasalnya, dampak pembuangan sampah plastik di sembarang tempat tidak bisa dianggap enteng; lastik tidak bisa busuk, dan struktur tanah menjadi rusak dan tidak subur. Pohon yang ditanam pun tidak bisa hidup. Karena itu, mari bersama-sama selamatkan lingkungan!(68)

– Haryati, Sekretaris Pengurus Cabang Fatayat NU dan guru MAN Wonosobo.

Related Posts by Categories :



0 comments:

Post a Comment