Thursday, February 4, 2010

Benih Masih Impor dari China


Jakarta, Kompas - Hingga kini Indonesia masih bergantung pada impor induk benih padi hibrida dari China. Ini semakin membuat Indonesia ketinggalan dari China dalam produksi padi hibrida. China telah melakukan komersialisasi benih padi hibrida lebih dari 33 tahun lalu.
Jika ketertinggalan ini terus terjadi tanpa ada upaya mengatasi, saat beras masuk Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN-China tahun 2015, serbuan beras murah dari China sulit dibendung.

Menurut Menteri Pertanian Suswono, ketertinggalan itu harus diatasi dengan meningkatkan produktivitas padi. Untuk itu, harus dihasilkan benih padi unggul. ”Kita akan mendorong para peneliti di Kementerian Pertanian menyiapkan semua itu (memproduksi benih unggul) agar pada 2015 tidak terjadi masalah besar bagi Indonesia,” kata Suswono di Jakarta, Kamis (4/2).

Ia menjanjikan akan memberikan dukungan sarana, prasarana, dan fasilitas penelitian agar peneliti di Indonesia bisa bersaing. Dengan demikian, Indonesia tidak lagi bergantung pada induk benih padi hibrida impor.

Direktur Penelitian dan Pengembangan PT Sang Hyang Seri Nizwar Syafa’at menyatakan, perusahaannya mulai mengembangkan pejantan mandul untuk pengembangan benih padi hibrida. ”Kami harap, 4-5 tahun lagi sudah mampu menghasilkan pejantan mandul sendiri,” ujarnya.

Sampai saat ini, lanjutnya, belum ada satu pun lembaga penelitian di Indonesia yang mampu menciptakan pejantan mandul sendiri dengan produktivitas tinggi. ”Produsen benih padi Indonesia mengimpor pejantan mandul (betina), lalu mengawinkan dengan pejantan lokal yang sudah adaptif dengan kondisi lingkungan di sini,” kata Nizwar.

Berbeda dengan pengembangan benih padi konvensional atau inbrida, pengembangan benih padi hibrida memerlukan proses yang relatif lama.

Proses pengembangan benih padi hibrida membutuhkan pejantan mandul agar memperoleh kemurnian dalam persilangan. Perbanyakan pejantan mandul dilakukan dengan menyilangkan induk yang memiliki sifat yang sama. Hasil persilangan ini diperlukan sebagai tetua betina. Setelah dikawinkan dengan restorer atau formula atau pejantan, dihasilkan benih padi hibrida F1 yang siap ditanam petani.

PT Sang Hyang Seri saat ini mampu menghasilkan berbagai varietas padi hibrida, seperti SL-8 dengan produktivitas 12 ton gabah kering panen per hektar.

Nizwar menegaskan, hingga kini belum ada produsen benih padi hibrida di Indonesia yang mampu memproduksi benih padi hibrida dengan produktivitas 2 ton per hektar. ”Jika produktivitas benih di bawah 2 ton, nilai keekonomiannya belum tercapai,” tuturnya.

Data Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menunjukkan, sejak 2002 Balitbang Pertanian menghasilkan tujuh varietas padi hibrida, yakni Galur CMS A1, Galur CMS A2, Galur Restorer R 17, Galur Restorer R 32, Hipa 5 Ceva, Hipa 6 Jete, dan IR 8025A/BR827-35. Namun, produktivitas varietas-varietas itu masih kalah dibandingkan dengan varietas yang dimiliki China.

Daya saing harga

Menurut Wakil Menteri Pertanian Bayu Krisnamurthi, persaingan paling berat dengan China tahun 2015 terkait komoditas beras adalah pada daya saing harga dan efisiensi biaya produksi. ”Karena itu, produktivitas padi menjadi penting,” kata Bayu.

Dia menjelaskan, China yang beriklim subtropis memang lebih sedikit menghadapi serangan hama penyakit karena suhunya lebih dingin. ”Tetapi, kita punya ruang lain, yakni memiliki keragaman jenis padi,” ujarnya.

Oleh karena itu, usaha yang harus dilakukan adalah mengajak konsumen untuk lebih menyukai jenis-jenis beras tertentu yang dikembangkan di dalam negeri.

”Mengajak konsumen beras lokal agar seperti konsumen beras di Jepang, India, dan Timur Tengah yang lebih menyukai beras khusus, baik aroma, jenis, maupun rasa. Selain itu, diversifikasi konsumsi beras menjadi penting meski efisiensi produksi dan peningkatan produktivitas juga prioritas,” tutur Bayu.

Guna mendukung program kerja 100 hari, Kementerian Pertanian menyediakan benih padi umur pendek. Tiga jenis benih dasar padi varietas unggul yang dibagikan adalah Inpari 1, Silugonggo, dan Dodokan sebanyak 20 ton untuk sembilan provinsi penghasil utama beras. Provinsi itu antara lain Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur, dan Sulawesi Selatan. (MAS)



Related Posts by Categories :



0 comments:

Post a Comment