Monday, February 9, 2009

Paradigma Baru Regulasi Pangan

Oleh: Hafidh Asrom

Fungsi pangan merupakan komoditas penting dan strategis bagi bangsa Indonesia mengingat pangan adalah komoditas yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan masyarakat secara bersama-sama. Pengembangan dan pemantapan ketahanan pangan merupakan pilar utama dalam mewujudkan ketahanan ekonomi dan ketahanan nasional yang berkelanjutan. Begitu juga, pangan dan lingkungan adalah kebutuhan penting sehingga membangun serta memperbaiki regulasi pangan sangatlah penting. Karena membangun sumber daya yang unggul akan menyentuh banyak dimensi dan banyak yang diperlukan termasuk lingkungan di dalamnya.

Namun demikian, fokus utama yang mutlak diletakkan adalah pada upaya meningkatkan kualitas dasar penduduk, baik dalam hal fisik mau pun intelgensia. Karena kualitas sumber daya manusia akan ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi. Karena pangan merupakan kebutuhan pokok manusia yang hakiki sehingga harus tersedia. Selain itu, pangan dalam perspektif politik bisa berfungsi sebagai penjaga stabilitas keamanan. Melihat latar belakang dan fungsi pangan begitu penting, maka jika dicermati semangat regulasi yang berupa Undang-Undang Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan, — setidaknya yang sudah tersirat — dalam aspek pertimbangan tentang kelahiran Undang-Undang Pangan ini.

Ada tiga aspek penting yang menjadi pertimbangan undang-undang ini lahir, pertama, pengakuan terhadap pangan sebagai kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi. Kedua, prasarat utama dalam sistem pangan adalah tersedianya bahan pangan yang aman, bermutu, beragam dan tersedia secara cukup, serta; Ketiga, perlunya sistem perdagangan yang baik dan bertanggung jawab. Karena dasar pertimbangan berupa Undang-Undang Pangan yang sudah ada, merupakan representasi semangat, maka di dalam Undang-Undang tersebut tidak satu pun adanya dasar dan pertimbangan yang menunjukkan “kesadaran” mengenai “kewajiban” negara dari implikasi “hak asasi” atas pangan tersebut. Instrumen Krisis Semangat kesadaran negara sebagai institusi untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan, merupakan bentuk dari sikap hukum pemerintah terhadap hak asasi masyarakat.

Dengan demikian ke depan tidak hanya bentuk-bentuk pelanggaran pidana dan sejenisnya saja yang bisa diajukan masyarakat ke pengadilan (hukum), melainkan juga sistem ketatanegaraan dan pemerintahan yang melalaikan kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak atas pangan tersebut. Lepasnya semangat inilah yang menyebabkan tidak adanya pasal yang mengatur tentang ketentuan masyarakat dalam melakukan model class action jika terjadi kejadian yang mempresentasikan kegagalan pemerintah dalam menjalankan kewajibannya.

Ketentuan-ketentuan pidana hanya diterapkan bagi warga negara baik secara individu maupun kelembagaan atau organisasi pelaksana usaha pangan yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan teknis pangan. Padahal, kecenderungan krisis pangan global akan dan selalu mendorong setiap negara untuk menyiapkan berbagai instrumen penanganan krisis pangan sebagai bentuk penjaminan pemenuhan hak atas pangan. Di Indonesia potensi ancaman kelaparan dan kekurangan gizi pada bayi dan balita telah menjadi persoalan yang sampai hari ini belum bisa diselesaikan oleh negara.

Meskipun ancaman kelaparan global belum begitu meluas, akan tetapi untuk kasus Indonesia bukanlah sesuatu yang mustahil, karena pada saat ini pun Indonesia merupakan salah satu negara yang ketergantungan pangannya sangat besar dari luar negeri. Pada saat ini Indonesia berada pada status rawan pangan, ini berarti bukan karena tidak adanya pangan akan tetapi lebih disebabkan pemenuhan akan kebutuhan pangannya tergantung pada pihak lain. Setidaknya ini dibuktikan dengan tiga indikator, pertama, angka dan nilai impor bahan pangan dan produk hasil pertanian dari tahun ke tahun selalu meningkat sebagai akibat pertambahan penduduk. Kedua, semakin menurunnya produktivitas terhadap lahan pertanian juga menjadi persoalan. Sebagai ilustrasi tentang semakin menyempitnya tersebut, Propinsi DIY misalnya, alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian terutama untuk perumahan dan perdagangan (niaga) relatif besar hingga mencapai 100 hektar lebih setiap tahunnya. Kondisi demikian ditambah lagi penurunan produksi pangan akibat bencana alam, serangan hama atau organisme pengganggu tanaman, dan lain-lain. Ketiga, menurunnya minat petani atau minat menjadi petani untuk berproduksi sebagai akibat tidak adanya kebijakan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan petani penghasil pangan.

Sekarang ini di kawasan/daerah penghasil produk pertanian pertanian khususnya petani padi, jarang dijumpai anak-anak muda yang menjadi petani, mereka lebih suka merantau sebagai tenaga kerja di luar negeri, atau menjadi kaum urban di kota-kota besar. Namun demikian, pertimbangan lain yang luput untuk “dibumikan” dalam permasalahan regulasi pangan khususnya dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan adalah “kedaulatan pangan” karena dalam jangka panjang semangat kedaulatan atas pangan ini sangatlah penting dalam rangka menghindarkan masyarakat kita dari jebakan pangan (food trap). Sayangya dalam Undang-Undang Pangan yang terus menerus disinggung adalah “aspek pemenuhan” dan “kecukupan bahan pangan” bagi masyarakat.

Selain itu undang-undang pangan lebih banyak menyinggung masalah “keamanan dan ketahanan pangan (food security)” yang lebih cenderung kepada aspek “pemenuhan” saja. Tetapi Undang-Undang Pangan tidak mempersoalkan tentang bagaimana proses bahan pangan itu tersedia, termasuk impor besar-besaran sekalipun. Perlu Paradigma Baru Sebagai sebuah produk undang-undang yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa dengan berbagai problematika pangan yang semakin kompleks saat ini, maka diperlukan paradigma yang baru dalam Undang-Undang Pangan.

Salah satu paradigma tersebut adalah kedaulatan terhadap pangan, yaitu sebuah konsepsi yang menjamin, memenuhi dan melindungi hak setiap warga negara untuk memiliki kemampuan guna memproduksi kebutuhan pokok pangan secara mandiri. Jika ini bisa dilakukan, setidaknya sudah didukung kekuatan sumber daya lokal yang memiliki potensi untuk menopang kemandirian Indonesia dalam sektor pangan. Dengan harapan undang-undang baru tersebut nantinya mampu menjawab permasalahan krisis dan kerawanan pangan serta sebagai langkah antisipasi terhadap krisis pangan global. Karena menurut penulis, penyusunan rancangan undang-undang baru tentang pangan ini merupakan sebuah proses untuk melahirkan peraturan yang lebih komprehensif dalam menangani masalah krisis dan rawan pangan serta ketahanan pangan di Indonesia.

Namun demikian, hal penting yang tetap menjadi perhatian penting adalah bagaimana strategi pengembangan pangan melalui pembangunan pertanian, sehingga menjadi wahana penanggulangan kemiskinan dan pengangguran. Juga harus selaras dengan sumbu perputaran ekonomi di Indonesia di pasar domestik. Sementara bagi aparatur negara yang menangani masalah pangan memiliki sandaran hukum yang kuat sehingga dalam menangani berbagai kasus yang berkaitan dengan pangan, tidak mengalami kegamangan dan keraguan dalam mengambil tindakan hukum. Dengan adanya paradigma yang baru tentang regulasi pangan diharapkan mampu memberikan kontribusi akan tersedianya pangan secara berkesinambungan bagi rakyat . q - g. (226-2009).

KR.05/02/2009 08:08:46
*) Drs HA Hafidh Asrom MM, Anggota Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dari Propinsi DIY.

http://c-tinemu.blogspot.com/

Related Posts by Categories :



0 comments:

Post a Comment