Jakarta, Kompas - Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budidaya Tanaman harus ditinjau ulang. Sebab, menyerahkan usaha budidaya pangan sepenuhnya kepada swasta akan menimbulkan masalah serius dalam pengendalian pangan di kemudian hari.
Menurut Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Siswono Yudo Husodo, Selasa (27/4) di Jakarta, tanpa menyempurnakan PP tersebut, lahan pangan sekaligus usaha budidayanya bisa dikuasai swasta dan asing. Ini telah terjadi pada pengembangan kelapa sawit.
Awalnya, pada tahun 1970-an pengembangan kelapa sawit dirancang melalui pola PIR-Trans. Perusahaan swasta sebagai inti mendapat penguasaan lahan usaha 30 persen, selebihnya dikuasai petani rakyat.
Namun, sejak muncul Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing, industri kelapa sawit dikuasai sepenuhnya oleh swasta nasional dan asing. ”Saat ini 2,1 juta hektar perkebunan sawit dikuasai asing. Dari luasan itu ada yang 100 persen milik asing atau negara lain. Ini kecerobohan pemerintah. Hal yang sama bisa terjadi pada pangan bila tidak diatur,” kata Siswono.
Pola kerja sama yang paling baik dalam pengembangan pangan, menurut Siswono, dengan menyatukan program reforma agraria dengan kawasan pangan (food estate). Namun, itu hanya untuk daerah tertentu yang memang perlu dilakukan ekstensifikasi pertanian. Di Jawa tak mungkin dilaksanakan.
Kerja sama inti plasma untuk pengembangan kawasan pangan dilakukan dalam skala luas. Petani plasma minimal mengusahakan 5 hektar agar bisa menggarap lahan dengan menggunakan traktor. Adapun pola pengusahaan lahan, plasma, atau petani 60 persen dan inti, yakni swasta, 40 persen.
Desakan perlunya perubahan PP No 18/2010 juga diungkapkan Sekretaris Jenderal Induk Koperasi Tani dan Nelayan Soeryo Bawono, Sekretaris Jenderal HKTI Rachmat Pambudy, Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional sekaligus Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini, serta Ketua Umum Perhimpunan Peternak Sapi Kerbau Indonesia Teguh Boediyana.
Soeryo mengkhawatirkan kewenangan pemberian izin pengelolaan lahan oleh bupati/wali kota seperti tertuang dalam Pasal 11 Ayat (2). Hal ini akan memicu terjadinya jual beli surat izin.
Benny menegaskan, sulit bagi Indonesia untuk berdaulat jika yang menguasai pangan rakyat adalah negara lain. Menurut Benny, Pasal 2 huruf (b) PP No 18/2010, yang menyatakan usaha budidaya pangan food estate untuk memenuhi kebutuhan bahan baku industri, kurang tepat. ”Seharusnya yang diutamakan pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat,” ujarnya.
Benny mengingatkan, penyertaan modal asing maksimal 49 persen akan sulit dikontrol. Alasannya, bisa saja terjadi kesepakatan di bawah meja antara asing dan pemilik mayoritas saham. Oleh karena itu, porsi asing dalam budidaya pangan harus diminimalkan.
Sampai saat ini, kata Teguh, tak ada politik pertanian yang jelas dalam budidaya pertanian. PP yang ada tak berpihak kepada petani kecil.
Rachmat Pambudy mempertanyakan tugas pokok dan fungsi pemerintah dalam pembangunan pertanian dan strategi pembangunannya. Seharusnya kebijakan yang sifatnya melayani harus diberikan kepada petani kecil, sementara kepada perusahaan yang bisa menjadi predator harus ada aturan yang membatasi.
Program Officer Agroekosistem Yayasan Kehati Puji Sumedi meminta ada aturan soal keterkaitan lahan kawasan pangan di Merauke dengan tanah adat. ”Jangan sampai investasi justru menimbulkan masalah baru dengan masyarakat adat,” katanya.
Tanpa swasta mustahil
Siswono, yang juga pemilik usaha PT Bangun Cipta Sarana, selaku investor kawasan pangan di Merauke, Papua, menyatakan, tanpa ada kerja sama yang baik antara petani, pemerintah, dan swasta, sulit untuk mengembangkan pangan di lahan pertanian potensial yang belum dikembangkan.
”Tak mungkin mengandalkan petani saja karena perlu investasi besar untuk pembangunan infrastruktur pertanian, seperti jalan, jaringan irigasi, dan pelabuhan. Sementara itu, menyerahkan sepenuhnya kepada swasta juga akan menuai masalah serius kelak,” tutur Siswono.
Pengembangan sawit dengan pola kerja sama, ujar Siswono, terbukti mampu membuat Indonesia menjadi produsen minyak kelapa sawit mentah (CPO) terbesar di dunia. Pola yang sama juga bisa untuk tanaman pangan,” katanya.
Siswono juga mengkhawatirkan arah pembangunan pertanian yang kini dilaksanakan pemerintah. Ia mencermati banyaknya program hibah dalam bentuk Pengembangan Usaha Agribisnis Pedesaan dan Lembaga Mandiri yang Mengakar di Masyarakat justru menjadikan petani tidak mandiri. (MAS)
0 Comments