Ogan Ilir, Sumsel (ANTARA News) - Sejumlah petani yang tergabung dalam Serikat Petani Indonesia menolak korporatisasi sektor pertanian dan pangan di Indonesia.
Henry Saragih, Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Petani Indonesia (SPI), saat memperingati Hari Petani Indonesia, di Ogan Ilir, Sumatra Selatan, Kamis, mengingatkan, jangan sampai rakyat Indonesia menjadi lapar di atas lahan yang subur hanya karena kesalahan dalam kebijakan yang diambil pemerintah.
Menurut dia, apabila sistem pertanian dan pangan diserahkan kepada pemilik modal (investor), hasil yang diperoleh bukan untuk kesejahteraan rakyat, melainkan kepentingan investor itu sendiri dan rakyat tetap dibelit penderitaan.
"Dominasi pemilik modal dalam industri pertanian dan pangan hanya akan membuat rakyat menderita dan menjadi miskin," kata dia.
Ia mencontohkan, sengketa lahan yang terjadi antara warga Desa Rengas dan Lubuk Bandung di Sumsel, merupakan bentuk dari korporatisasi pertanian, karena telah menggusur hak warga petani atas tanahnya sendiri.
Dia menyatakan, dengan sistem korporatisasi pertanian, maka pemerintah akan menyerahkan lahan kepada pihak perusahaan sebesar-besarnya, dan petani akan semakin tergusur.
Oleh karena itu, pria yang juga merupakan anggota dari Serikat Petani Internasional itu, akan mendesak pemerintah pusat agar tanah warga yang dikelola PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VII Rayon VI Unit Usaha Cinta Manis untuk segera dikembalikan.
Henry menegaskan, semestinya warga yang menggantungkan hidup sebagai seorang petani, ketika membutuhkan tanah, pihak PTPN VII harus meninggalkan daerah tersebut.
Gupriyadi, petani asal Desa Rengas mengaku, selama 27 tahun selalu berada dalam ketakutan, karena sering diintimidasi ketika menuntut tanah mereka yang dikuasai oleh PTPN VII.
"Setiap kali melakukan perlawanan untuk meminta kembali tanah kami, maka akan ditangkap dan diperlakukan yang tidak wajar," ujar dia.
Menurut dia, sengketa lahan yang berlangsung sejak tahun 1980-an itu, membuat warga hingga kini hanya menjadi buruh tani.
Ia menyebutkan, desa yang memiliki sekitar 700 kepala keluarga (KK) tersebut, 60 persen merupakan buruh tani yang tidak memiliki lahan perkebunan lagi.
"Untuk menopang keluarga, kami terpaksa bekerja di perkebunan milik orang lain yang berada di kabupaten Muaraenim," ujar dia.
H Misbahudin, tokoh masyarakat setempat mengimbau agar masyarakat terus berjuang untuk mendapatkan tanah mereka.
Menurut dia, tanah ulayat seluas 1.529 hektare yang dikuasai oleh PTPN VII Cinta Manis, seharusnya menjadi milik warga setempat yang benar-benar berhak memiliki dan mengelolanya.
"Sudah turun-temurun tanah tersebut menjadi sumber pencaharian masyarakat di sini sejak dulu, dan ini merupakan tanah milik kami," kata dia menegaskan.
Dia menyatakan, selama penguasaan lahan oleh PTPN VII, pihak perusahaan pernah berjanji akan mempekerjakan 60 persen tenaga kerja warga pribumi setempat.
Akan tetapi, kenyataannya hanya dua orang saja yang diangkat menjadi karyawan, dan selebihnya hanya buruh musiman dan buruh harian lepas.
Dalam peringatan Hari Hak Asasi Petani Indonesia tersebut, hadir beberapa aktivis LSM, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sumsel, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Palembang, dan organisasi massa lainnya.
Mereka sepakat untuk mendukung memperjuangkan hak warga Desa Rengas dan Lubuk Bandung atas tanah yang dikuasai oleh PTPN VII.
Bahkan dampak dari konflik tersebut, dua orang petani asal Desa Lubuk Bandung, Jamal (40) dan Busroh (60), ditahan oleh aparat Kepolisian Daerah (Polda) Sumsel.
(B014/K004)
0 Comments