Hermas E Prabowo
Apa yang sesungguhnya paling dibutuhkan petani buah dan sayur dari dulu hingga saat ini? Bila pertanyaan itu diajukan langsung kepada petani tanpa tendensi apa pun, mereka pasti menyebutkan, yang paling mereka butuhkan adalah adanya jaminan pasar dalam bentuk jaminan barang dan harga.
Jaminan pasar inilah yang selama ini terasa mahal bagi petani buah dan sayur di negeri ini. Saat mereka panen cabai, misalnya, harga cabai bisa jatuh hanya Rp 3.000 per kilogram. Akan tetapi, ketika musim panen berakhir, harga cabai melambung hingga enam kali lipat, bahkan lebih.
Ketika para petani minta jaminan pasar, yang diberikan pemerintah melalui berbagai bantuan dana APBN ataupun APBD justru permodalan, benih, pupuk, dan bantuan teknis lain. ”Bukannya tidak perlu, tapi kalau boleh milih, lebih baik harganya yang dijamin,” kata Anwar, petani sayur dari Malang, Jawa Timur.
Tidak seiramanya keinginan petani dan pemerintah salah satunya mendorong komoditas hortikultura Indonesia tidak berkembang dan kalah dengan Thailand ataupun China. Ini terjadi karena tidak ada insentif bagi petani untuk menggenjot produksi dan kualitas buah-buahan dan sayur-sayuran.
Asep Tasrip Hidayat, pemasok manggis ekspor dari Segalaherang, Subang, Jawa Barat, menyebutkan, ”Lebih baik saya menunda pengiriman manggis ke Singapura saat manggis Thailand sedang panen. Pasti manggis saya enggak laku.”
Bagaimana produk mereka bisa berdaya saing jika insentif yang diberikan pemerintah tidak sesuai kehendak petani?
Melihat tak adanya kesesuaian tujuan antara petani dan pemerintah, PT Mitratani Agro Unggul (MAU) mencoba meringankan beban petani. Caranya dengan menjalin kemitraan dengan petani buah dan sayur untuk memberikan jaminan pasar.
Risiko usaha tani
Manajer Umum PT MAU Bagyo Joko Setyanto mengungkapkan, risiko usaha tani buah dan sayur petani besar. Di tingkat budidaya, mereka dihadapkan pada ketidakpastian iklim, benih, modal, pasokan air, dan serangan hama penyakit.
Di tingkat pascapanen, mereka kembali dihadapkan pada minimnya infrastruktur jalan, listrik, ataupun sarana penyimpanan dan pengangkutan yang baik dalam bentuk rantai dingin. Begitu pula saat memasarkan produk pertanian, posisi tawar mereka lemah sehingga mudah dipermainkan.
Memasok komoditas langsung ke pasar juga tidak bisa karena dihadapkan pada buruknya struktur pasar yang menolerir pungutan liar dan premanisme di mana-mana, baik di jalan maupun di lingkungan pasar. Ekspor langsung tak punya modal dan pengalaman.
Mau memasok ke pasar modern, sistem pembayarannya tidak menguntungkan. Kondisi hidup segan mati tak mau ini dialami petani buah dan sayuran dari dulu hingga sekarang.
Melihat kenyataan itu, PT MAU menawarkan kerja sama produksi buah dan sayur. Petani menyediakan lahan, tenaga kerja, dan sebagian modal usaha.
Adapun PT MAU memberikan dukungan permodalan, pendampingan tenaga teknis, benih unggul, dan yang penting jaminan pasar. Khusus pupuk, kerja sama dengan koperasi atau kelompok tani.
Melalui kerja sama ini, petani berkomitmen menanam komoditas sesuai kesepakatan bersama. Komoditas itu lalu dijual kepada mitra kerjanya sesuai kesepakatan harga di muka.
Karena ada pendampingan teknis, risiko budidaya karena serangan hama penyakit juga relatif kecil. Petani pun bersemangat. Terbukti sejak dirintis tahun 1998, luas area pertanian dalam bentuk kemitraan terus meningkat.
Jika semula PT MAU hanya memiliki lahan garapan sendiri 5 hektar, sekarang sudah ada kerja sama penanaman cabai 150 ha, kentang 45 ha, dan jagung 3.000 hektar.
Jangkauan kerja samanya menyebar, mulai dari Cipanas dan Garut (Jawa Barat). Juga di Jawa Timur, yakni di Malang, Pasuruan, Pacitan, Blitar, hingga Nganjuk.
Komoditas yang dikembangkan pun bervariasi, mulai dari cabai, wortel, bawang daun, tomat, kentang, brokoli, kol, dan seledri. Juga ubi jepang dan jagung.
Komoditas itu untuk memenuhi pasar dalam negeri dan ekspor, antara lain ke Singapura, Taiwan, China, dan negara-negara Timur Tengah.
”Kebutuhan industri besar, tetapi petani dalam negeri belum bisa memenuhinya. Di sisi lain, produk sayuran dalam negeri kerap ’terbuang’ sia-sia atau bahkan tak bernilai karena harganya jatuh akibat tak terserap pasar. Kemitraan diperlukan untuk menjembatani dua kepentingan, yakni petani dan industri,” katanya.
Ketua Umum Dewan Hortikultura Nasional Benny A Kusbini menyatakan, meski kemitraan sangat membantu meningkatkan pendapatan petani, dukungan pemerintah pusat dan daerah terhadap pola itu masih lemah.
Misalnya, pasokan listrik untuk petani kerap terganggu. Kemudian minimnya dukungan sarana pengairan untuk lahan-lahan petani.
Permodalan dan transportasi juga masih menjadi kendala. Selain itu, akibat distribusi terhambat di jalan, kualitas buah dan sayur jadi menurun.
Sumber: http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/03/05/04015846/menjamin.pasar.buah.dan.sayur
0 Comments