Oleh Moh Jauhar Al-Hakimi
Secara fisiografis, Kota Yogyakarta dikelilingi wilayah yang tidak menguntungkan. Sejumlah 18,44 persen luas wilayah daerah resapan air dan hutan lindung yang terletak di lereng dan kaki Gunung Merapi, 6,82 persen luas wilayah pertanian yang subur di Kabupaten Bantul belum memenuhi 30 persen minimal wilayah resapan air dalam satu daerah aliran sungai.
Selebihnya, 52,40 persen, merupakan wilayah perbukitan batu gamping (limestone) yang kritis, tandus, dan selalu kekurangan air, dan 22,34 persen lahan struktural dengan topografi berbukit yang mempunyai kendala lereng curam dan potensi air tanahnya kecil. Inilah masalah serius yang harus dihadapi Yogyakarta: masalah lingkungan sosial dan lingkungan fisik.
Hingga 1998, rata-rata penyusutan areal persawahan di Yogyakarta bagian utara terutama sekitar lereng Merapi sebesar 126 hektar per tahun. Angka ini meningkat dalam tiga tahun terakhir menjadi 185 hektar per tahun. Konversi lahan dari areal persawahan lebih banyak bagi peruntukan permukiman dan tempat usaha. Secara kasatmata, adanya konversi lahan itu akan berdampak pada menurunnya produksi beras mengingat selama ini areal yang ada lebih banyak berupa persawahan produktif untuk penanaman padi. Memang tidak terhindarkan, bertambahnya jumlah penduduk memerlukan ruang setidaknya untuk tempat tinggal maupun berusaha. Namun, hal yang mengkhawatirkan dari konversi lahan tersebut justru dampaknya terhadap daerah resapan air bagi Yogyakarta serta perubahan iklim mikro-makro kawasan.
Tingginya nilai jual tanah terutama di kota dan bagian utara Yogyakarta menjadi salah satu faktor yang mempercepat beralih fungsinya lahan di Yogyakarta. Meskipun pemangku kebijakan telah menerapkan tata ruang wilayah yang melindungi areal persawahan sebagai salah satu daerah resapan air diikuti dengan kebijakan penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi, namun ketika harus berhadapan dengan hukum ekonomi pasar dalam realitasnya kebijakan yang ada sering seolah tunduk pada mekanisme pasar yang ada. Ini bisa dilihat dari betapa berjenjangnya proses perizinan pengeringan lahan persawahan untuk penggunaan lainnya, namun dari hari ke hari bisa kita jumpai di berbagai tempat di Yogyakarta terjadi pengeringan areal persawahan yang akan dikonversi bagi peruntukan lainnya.
Kenaikan harga tanah di pinggir jalan di Yogyakarta mencapai di atas 30 persen per tahun. Kondisi ini ibarat pisau bermata ganda. Di satu sisi merupakan sumber pendapatan dari pajak bumi bagi pemerintah setempat, namun di sisi lain peningkatan pajak tersebut akan memberatkan petani untuk terus mengolah maupun mempertahankan keberadaan areal sawah tersebut yang itu artinya juga menjadi ancaman keberadaan salah satu daerah resapan yang ada. Tingginya harga tanah serta terus meningkatnya pajak bumi sebagai akibat dari naiknya NJOP menjadi salah satu alasan petani pemilik persawahan terutama di pinggir jalan untuk menjual persawahannya. Dalam waktu yang bersamaan, daya tarik yang dimiliki Yogyakarta sebagai salah satu daerah yang aman-nyaman, potensi pertumbuhan ekonomi, serta kecenderungan naiknya harga tanah di masa datang turut mendorong orang-orang luar Yogyakarta berlomba menanam investasi dalam bentuk tanah di Yogyakarta.
Masalah sosial-lingkungan
Pertambahan penduduk membawa konsekuensi dalam penyediaan ruang tinggal. Dengan luasan wilayah yang tetap dan terbatas, pola yang terjadi adalah adanya migrasi masyarakat ke arah luar kota yang itu artinya memerlukan ruang serta terjadinya konversi peruntukan areal persawahan. Di Yogyakarta dalam tahun-tahun terakhir marak dibangun permukiman serta perumahan dalam jumlah kecil di atas areal persawahan produktif. Di masa-masa awal, ini merupakan pemandangan yang indah di mana sebuah permukiman berada di tengah-tengah areal persawahan.
Dalam perspektif hubungan masyarakat agraris, petani tidak bisa terlepas dari sawahnya. Areal persawahan adalah rumah kedua setelah pekarangan di mana petani berinteraksi dengan masyarakat dan lingkungannya. Ada keterikatan secara sosiologis-psikologis antara petani dan areal persawahannya di mana ada denyut yang terus berdetak sebagai sebuah mata pencaharian dan saling menghidupi. Di sawah, petani menghabiskan waktunya hampir sepanjang hari sehingga interaksi sosial yang terjadi antarpetani di areal persawahan cukup intens berikut konfliks yang ada sebagai bentuk dinamika masyarakat yang justru menghidupkan. Bahwa kemudian tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan di Yogyakarta bak jamur di musim hujan, secara pasti, peralihan fungsi sawah menjadi permukiman perlahan mengepung areal persawahan dari berbagai arah. Peralihan fungsi lahan itu turut mendorong petani tercerabut dari akar dunia pertanian dan lingkungan sosialnya.
Dari sisi ekologis, tumbuhnya permukiman di atas areal persawahan secara langsung menjadi sekat baru sebuah ekosistem berdampak pada siklus yang terjadi pada areal persawahan tersebut sebagai sebuah ekosistem yang utuh. Gangguan yang terjadi akan berdampak lanjutan pada siklus yang lebih luas semisal tata air, siklus hara, resapan air, maupun penyediaan udara yang bersih. Permasalahan lingkungan yang muncul akan bertambah ketika pertumbuhan permukiman di atas areal persawahan terus meningkat tanpa adanya pengaturan dan pengendalian dengan adanya pencemaran air, tanah, udara, maupun dalam penyediaan air bersih bagi kehidupan masyarakat Yogyakarta. Fenomena sawah di tengah rumah sebagai sebuah akibat selain tidak indah dipandang juga tidak sehat dalam secara sosial lingkungan.
Permasalahan lingkungan sosial-fisik yang tak tertangani secara menyeluruh akan mendorong Yogyakarta menjadi kota yang anonim dan terkepung masalah sosial-lingkungan di masa datang tanpa ruang untuk membebaskan diri. Semakin menurunnya daya dukung lingkungan bagi penghuninya, semakin terbatas pula ruang untuk berkegiatan dalam interaksi sosial.
Moh Jauhar Al-Hakimi Peneliti pada Humanisma Yogyakarta
0 Comments