Ad Code

Meratapi Nasib sebagai Petani

Oleh: Munawir Aziz


DI TENGAH deru pembangunan daerah, petani menjadi komunitas yang terabaikan serta miskin perhatian. Petani menjalani kehidupan dalam lorong waktu sempit, dengan tikaman permusuhan dari berbagai pihak. Di era reformasi ini, dengan meluapnya krisis, hidup petani menjadi terlunta. Di zaman berlari kencang ini, petani hidup terseok dan tertatih untuk meraih kesejahteraan. Itulah sebentuk kekejaman hidup yang harus ditanggung petani.

Ketika musim tanam tiba, kekeringan membentang dan memusingkan petani. Penggarap sawah dan perkebunan sulit mendapatkan pasokan air untuk menyegarkan tanaman, karena cadangan air dalam tanah semakin menipis. Merebaknya usaha kemasan air minum di berbagai daerah, menjadikan cadangan air di dalam tanah semakin berkurang. Semakin menipisnya lahan hutang lindung untuk menjaga debit air, juga menjadi bagian kegelisahan petani. Bahkan, ketika tanaman membutuhkan pasokan nutrisi, petani kesulitan mencari pupuk. Padahal, pemerintah telah memberikan subsidi dan pengawasan distribusi pupuk bagi petani. Namun, pupuk tetap saja menjadi komoditas langka.

Itulah yang menjadikan petani di berbagai daerah melakukan demonstrasi. Mahalnya harga pupuk di pasaran, menikam kesejahteran petani miskin. Bahkan, di beberapa daerah, ditemukan pupuk yang disalurkan lewat jalur partai, bertuliskan nama dan gambar caleg. Pupuk menjadi komoditas politik untuk meraih massa, namun mengorbankan kegelisahan petani.

Apa yang dilakukan oleh petani di Desa Karaban, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati, menjadi tragedi pada masa krisis pupuk ini. Puluhan petani mencegat dan menurunkan paksa pupuk yang ada di atas truk, pada Km 9,5 Pati-Kayen, akhir bulan lalu. Mereka mengaku kesulitan mencari pupuk serta telah berusaha ke berbagai daerah. Adapun lahan pertanian yang digarap, membutuhkan pupuk untuk menambah kesuburan dan mempercepat perkembangan tanaman.

Luapan Emosi

Tentu, tindakan petani Pati bukan merupakan sebentuk anarkisme membabi-buta. Mereka hanya terjepit kegelisahan dan krisis. Tindakan yang dilakukan hanya luapan emosi atas tragedi dalam ruang hidup serbakrisis ini. Perlu tindakan cepat untuk menghentikan hal serupa di daerah lain. Pemerintah seharusnya bertindak cepat dan kerja keras untuk menghentikan tragedi yang menghantam eksistensi petani. Petani terlalu lama akrab dengan tragedi.

Tragedi petani tidak hanya terbatas pada menipisnya air dan pupuk; ketika musim panen dirayakan, harga gabah dan produk pertanian lainnya turun drastis. Akibatnya, penjualan produk pertanian tak mampu menutup modal petani selama menggarap lahan. Petani menjadi komunitas termajinalkan. Pemerintah seakan hanya merasakan setengah hati, tak mendengarkan keluhan petani. Isu impor beras pun masih senantiasa berdengung, walupun bangsa ini bangga sebagai negara agraris.

Kegelisahan petani semakin memuncak; ketika lahan pertanian tergusur oleh pembangunan rumah dan industri, masa depan petani semakin suram.

Utopia

Pada titik itu, pemerintah hendaknya sigap bertindak untuk menormalkan rantai distribusi pupuk, mengintensifkan kebijakan berkait dengan air, mengelola hutan lindung, dan menormalkan harga produksi pertanian. Kegelisahan petani yang memuncak akan memungkinkan terjadinya demonstrasi dan kerusuhan massal di berbagai daerah. Itulah tragedi di sekujur ruang kehidupan petani negeri ini.

Pemerintah perlu merancang ulang kebijakan pemberdayaan petani dan warga kecil. Subsidi yang diberikan kepada petani sering meleset ke komunitas lain yang lebih sejahtera. Hak bantuan petani miskin digagalkan oleh pemegang otoritas distribusi di berbagai strata. Bantuan pemerintah berupa uang dan barang, hanya akan menyisakan derita dan kericuhan bagi petani dan kaum marginal di ranah grassroot.

Berulang kali, pinjaman lunak diberikan untuk membantu petani dan warga miskin. Akan tetapi, yang menjaring untung hanyalah pejabat dan pengusaha kaya. Sebaliknya, petani dan rakyat miskin dengan usaha kecil tak tersentuh.
Hal itu relevan dengan yang diungkapkan William Easterly (2005); upaya mengakhiri kemiskinan lewat pemberian pinjaman adalah utopia. Masalah yang terjadi di negara-negara miskin acap kali berakar pada institusi di negara mereka sendiri, tempat pasar tidak bekerja, dan politikus maupun pelayan publik (governance) tidak bertanggung jawab.

Keberhasilan pengentasan kemiskinan bagi petani dan kaum marginal negeri ini bergantung kepada political will pemerintah sendiri. Apakah pemerintah mau bersikap jujur, berani, bersungguh-sungguh, dan disiplin?

Sikap aktif-progresif dalam membantu petani dan kaum marginal, harus menjadi kerangka kebijakan dan gerakan pemerintah. Sikap itulah, yang disebut Koentjaraningrat (1974) sebagai “mentalitas pembangunan”. Yakni, pola pemerintahan yang memungkinkan adanya hasrat orientasi masa depan, spirit mengeksplorasi dan inovasi, serta kesadaran penghargaan terhadap karya.

Menurut Kentjaraningrat, mentalitas pembangunan yang menjadi pola dasar politik pemerintahan akan menyingkirkan îmentalitas menerabasî, yang merupakan ciri khas pemerintah korup.

Kerja Keras

Pada titik itu, semua pihak hendaknya bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan semua elemen bangsa secara merata. Pembangunan berbasis pertanian seharusnya tak hanya menjadi cahaya di langit impian. Pemerintah dapat menciptakan sistem dan kebijakan, agar sektor agraris dapat berdampingan dengan industri serta sektor usaha lain.

Pembangunan berbasis usaha terpadu, akan menjadikan visi masa depan negeri ini lebih konkret. Petani hendaknya menjadi basis penting dalam merancang Indonesia masa depan. Kerja keras petani dan kaum marginal, seharusnya ditopang dengan kebijakan fungsional.

Di Jawa Tengah, visi “Bali Desa Mbangun Desa” yang dilontarkan Gubernur Bibit Waluyo seharusnya menjadikan petani sebagai bagian penting. Program yang diimplementasikan seharusnya mendukung peningkatan kesejahteraan petani. Krisis pupuk, menipisnya hutan lindung, sempitnya lahan pertanian, dan beberapa tragedi lain, menjadi ujian visi gubernur untuk membantu kaum marginal. Jangan sampai semakin banyak warga negeri ini yang meratapi diri menjadi petani.(68)

– Munawir Aziz, bergiat di Divisi Riset Sampak ’’Gus Uran’’, dan Wakil Direktur Lembaga Kajian al-Hikmah Pati.

SM. 29/01/09
http://c-tinemu.blogspot.com/


Post a Comment

0 Comments

Close Menu