Sabtu, 31 Januari 2009 | 04:20 WIB
YOGYAKARTA, KOMPAS - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia siap meluncurkan padi transgenik tahan hama mulai tahun depan. Varietas padi yang belum bernama ini telah lolos uji lapangan dan analisis mengenai dampak lingkungan.
Ketua LIPI Umar Anggara Jenie mengatakan, padi tahan hama penggerek batang dan wereng ini sebenarnya telah siap diaplikasikan. Namun, padi ini masih harus melalui tahap uji keamanan pangan (biosafety) sebelum didistribusikan kepada petani. Tahap terakhir ini diperkirakan memakan waktu setahun.
”Setelah itu baru varietas padi baru ini akan memperoleh sertifikat dan bisa dilepas,” katanya seusai Seminar Nasional Perkembangan Bioteknologi Indonesia di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Jumat (30/1).
Menurut dia, padi hasil rekayasa genetika ini telah melalui uji lapangan selama empat tahun. Varietas ini juga telah dinyatakan aman terhadap lingkungan melalui uji amdal. Mengingat tanaman transgenik masih jadi kontroversi, LIPI akan mengadakan sosialisasi ke masyarakat.
Umar menerangkan, varietas padi ini dikembangkan dengan menggunakan padi varietas asli Indonesia, antara lain Rojolele dan Cisadane. Dengan memanfaatkan bakteri tanah jenis Bacillus thuringiensis, penelitian bertujuan merekayasa sifat gen padi sehingga tahan hama.
Pengembangan padi tahan hama dipilih karena hama merupakan ancaman besar bagi keberhasilan pertanian padi di Indonesia. ”Kondisi alam dan iklim di Indonesia sangat memungkinkan hama berkembang biak cepat dan banyak,” ujar Umar.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi LIPI juga berupaya mengembangkan padi tahan kekeringan, banjir, dan gulma. ”Pertanian padi di Indonesia menghadapi empat ancaman terbesar, yaitu kekeringan, banjir, hama, dan gulma. Karena itu, padi yang bisa mengatasi empat ancaman itu menjadi prioritas penelitian di LIPI,” kata Umar.
Ketergantungan
Pemerhati pertanian dari UGM, Mochammad Maksum, mengatakan, guna menjaga ketahanan pangan di Indonesia, peluncuran padi transgenik jangan sampai menjadi ketergantungan baru pada petani. Pasalnya, ketergantungan petani akan mengancam ketahanan pangan.
”Varietas ini harus bisa ditangkarkan sendiri oleh petani, seperti varietas lokal,” katanya. Menurut Maksum, selama ini petani Indonesia sudah terlalu bergantung pada industri pertanian sehingga kehilangan kemandirian. Selain bergantung pada pupuk kimia, petani juga bergantung pada bibit unggul yang tak bisa mereka bibitkan sendiri sehingga harus membeli dengan harga relatif mahal. ”Padahal, dulu petani Indonesia bisa bertahan karena mampu memelihara dan mengembangkan sendiri padi lokal,” katanya. (IRE)
0 Comments